Monday, August 7, 2023

PRINSIP PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes.,M.Farm.Klin
Secara mendasar, obat tradisional terdiri dari bagian-bagian tanaman atau ekstrak tanaman, hewan dan mineral yang belum dimurnikan yang mengandung berbagai komponen yang seringkali diyakini bekerja secara sinergis. Kebangkitan minat masyarakat baru-baru ini terhadap obat tradisional dikaitkan dengan beberapa faktor, antara lain :

 1. Berbagai klaim tentang efikasi atau efektivitas obat-obatan tradisional
2. Preferensi konsumen terhadap terapi alami dan minat yang lebih besar pada obat alternatif, 
3. Keyakinan salah bahwa produk obat tradisional lebih unggul daripada produk manufaktur
4. Ketidakpuasan dengan hasil dari farmasi konvensional dan keyakinan bahwa obat tradisional mungkin efektif dalam pengobatan beberapa penyakit di mana terapi dan obat konvensional terbukti tidak efektif atau tidak memadai,
5. biaya tinggi dan efek samping dari sebagian besar obat modern, 
6. peningkatan kualitas, efikasi, dan keamanan obat herbal dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, 
7. keyakinan pasien bahwa dokter mereka tidak dengan tepat mengidentifikasi masalah; oleh karena itu muncul perasaan bahwa obat tradisional merupakan pilihan lain, dan
8. pergerakan menuju swamedikasi.

Penggunaan obat tradisional perlu diperlakukan sebagai mana pengobatan konvensional. Aspek rasionalitas terapi perlu ditetapkan : 

1. Kesesuaian Indikasi : penggunaan obat tradisional perlu didasarkan pada indikasi tertentu. Penerapan indikasi perlu dilakukan oleh ahli agar tidak salah dalam mengidentifikasi kondisi kesehatan pasien.

2. Kesesuaian pemilihan obat tradisional : setelah indikasi ditetapkan maka pemilihan penggunaan obat perlu dilakukan secara tepat, dasar pemilihan nya adalah bukti-bukti penelitian pra klinis atau klinis atau bukti secara empirik dengan merujuk pada panduan pengobatan tradisional yang berlaku dalam beberapa generasi. Jika telah ada panduan yang dikeluarkan oleh regulator kesehatan (kementerian kesehatan atau BPOM) maka akan lebih terjamin legalitas dan keamanannya.

3. Kesesuaian cara pengolahan : termasuk pengolahan awal berupa pemilihan, pembuatan sediaan dan penyajian. Sesuaikan penggunaan obat tradisional sebagaimana generasi dahulu menggunakan (panduan empiris) atau mengikuti panduan terkini yang telah terbukti efektivitas nya secara ilmiah.

4. Kesesuaian dosis : perhatikan dosis penggunaan jangan sampai kurang atau berlebih dari takaran seharusnya. Hal ini memerlukan pengetahuan terkait rujukan yang valid. Kesulitan pada pengolahan dari bahan mentah adalah kualitas bahan mentah yang berbeda beda. Pada tahap ini produk obat tradisional pabrikan lebih akurat dibandingkan buatan rumahan. 
5. Kesesuaian waktu penggunaan : baik frekuensi harian atau pun lama penggunaan. Hal ini memerlukan referensi akurat dan bukti ilmiah untuk menyatakan efektivitas nya. Merujuk pada ahli, referensi resmi dan panduan yang dikeluarkan oleh regulator akan lebih menyelamatkan pasien dari kesalahan penggunaan.

6. Kesesuaian cara penggunaan : sediaan obat tradisional sebagian besar digunakan secara oral dan topikal. Cara penggunaan diluar jalur itu belum memiliki penilaian keamanan yang memadai. Jadi jika ada klaim obat tradisional injeksi harus dipertanyakan keabsahannya. 

7. Perhatikan efek samping : obat tradisional tidak lepas dari efek samping. Telah dilaporkan muncul nya efek samping berat, menengah dan ringan pada beberapa sediaan herbal. Jika setelah menggunakan sediaan herbal lalu timbul gejala tidak normal pada tubuh maka segera hentikan. 
Kesimpulan : obat tradisional merupakan obat yang digunakan secara turun menurun. Keaslian dan keakuratan penggunaan nya dijaga dari generasi ke generasi melalui jalur budaya. Akan tetapi ditengah arus disrupsi informasi yang tinggi dan bermunculan informasi yang kurang akurat berpotensi merusak warisan budaya tersebut. Diperlukan validasi dan dokumentasi yang baik serta regulasi yang ketat sehingga obat tradisional kembali mendapat kepercayaan di tengah masyarakat. Penggunaan secara rasional akan memaksimalkan potensi obat tradisional, sedangkan penggunaan secara emosional hanya akan merusak keunggulannya. 

Monday, June 12, 2023

KONSEP BALANCED SCORECARD (BSC) UNTUK PENINGKATAN MUTU RUMAH SAKIT

Oleh apt. Ilman Silanas, M.Kes.,M.Farm.Klin


Pendahuluan

Manajemen mutu di rumah sakit adalah serangkaian proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen mutu bertujuan untuk memastikan bahwa setiap aspek pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi standar. Dengan menerapkan manajemen mutu yang baik, rumah sakit dapat meningkatkan kepuasan pasien, meminimalkan risiko kesalahan medis, dan meningkatkan efisiensi operasional.

Manajemen mutu membantu rumah sakit untuk mengidentifikasi dan mengatasi kelemahan dalam sistem pelayanan kesehatan mereka. Hal ini melibatkan pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan terhadap proses dan hasil pelayanan, termasuk pengukuran kinerja dan pelaporan data yang akurat. Dengan adanya manajemen mutu yang efektif, rumah sakit dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, mengimplementasikan tindakan perbaikan yang tepat, dan mengukur dampaknya terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Selain itu, manajemen mutu juga berperan penting dalam meningkatkan keselamatan pasien. Dengan adanya sistem yang terstruktur untuk memantau kesalahan dan risiko medis, rumah sakit dapat mengidentifikasi faktor penyebab, mengadopsi praktik terbaik, dan mencegah kejadian yang berpotensi membahayakan pasien. Penerapan manajemen mutu juga membantu memastikan bahwa prosedur medis yang dilakukan di rumah sakit sesuai dengan standar keselamatan yang ditetapkan.

Secara keseluruhan, manajemen mutu merupakan komponen penting dalam upaya rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, aman, dan efisien. Dengan adanya manajemen mutu yang baik, rumah sakit dapat terus melakukan perbaikan dan peningkatan yang berkelanjutan, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi pasien dan masyarakat yang dilayani.


Konsep Balance Scorecard

Konsep dasar Balance Scorecard (BSC) adalah sebuah kerangka kerja manajemen strategis yang digunakan untuk mengukur dan mengelola kinerja organisasi. BSC mengakui bahwa kinerja organisasi tidak hanya dapat diukur dari segi keuangan, tetapi juga dari perspektif-perspektif lain yang berhubungan dengan visi, misi, dan strategi organisasi.


BSC terdiri dari empat perspektif utama, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Setiap perspektif memiliki indikator kinerja kunci (Key Performance Indicator/KPI) yang digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan strategis dalam masing-masing perspektif.

Perspektif keuangan mencakup indikator-indikator seperti pendapatan, laba, arus kas, dan nilai tambah yang dihasilkan oleh organisasi. Perspektif pelanggan fokus pada kepuasan pelanggan, pangsa pasar, dan loyalitas pelanggan. Perspektif proses internal mencakup indikator-indikator yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas operasional organisasi. Sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan melibatkan indikator-indikator yang mengukur kemampuan organisasi untuk berinovasi, mengembangkan kompetensi, dan memotivasi karyawan.

Dengan menggunakan Balance Scorecard, organisasi dapat memiliki pemahaman yang lebih komprehensif tentang kinerja mereka, baik dari segi keuangan maupun non-keuangan. Dengan memperhatikan indikator-indikator dari setiap perspektif, organisasi dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, mengalokasikan sumber daya dengan lebih efektif, dan mengarahkan upaya mereka untuk mencapai tujuan strategis secara holistik.

Penerapan Balance Scorecard memungkinkan organisasi untuk mengintegrasikan strategi dengan pengukuran kinerja, serta memungkinkan tim manajemen untuk membuat keputusan berdasarkan informasi yang komprehensif dan seimbang. Dengan demikian, BSC membantu organisasi dalam merencanakan, melaksanakan, dan memantau strategi mereka, sehingga dapat mencapai keberhasilan jangka panjang dan meningkatkan kinerja secara berkelanjutan.

Penerapan BSC dalam Rumah Sakit

Rumah sakit dapat menggunakan Balance Scorecard (BSC) sebagai alat pengukuran kinerja dengan mengikuti beberapa langkah berikut:

1. Identifikasi tujuan strategis: Rumah sakit perlu mengidentifikasi tujuan strategis mereka, baik dari perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, maupun pembelajaran dan pertumbuhan. Tujuan ini harus sesuai dengan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi.

2. Tentukan indikator kinerja kunci: Setelah tujuan strategis diidentifikasi, rumah sakit perlu menentukan indikator kinerja kunci (KPI) yang akan digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan tersebut. Misalnya, dalam perspektif keuangan, indikator seperti pendapatan per pasien, efisiensi biaya, atau laba bersih dapat digunakan.

3. Mengukur dan mengumpulkan data: Rumah sakit perlu mengumpulkan data yang relevan untuk mengukur KPI yang telah ditentukan. Data ini bisa berupa data keuangan, data pelanggan, data operasional, atau data yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia.

4. Analisis dan interpretasi data: Setelah data terkumpul, rumah sakit perlu menganalisis dan menginterpretasi data tersebut. Dalam BSC, penting untuk melihat hubungan antara KPI di berbagai perspektif dan memahami dampaknya terhadap pencapaian tujuan strategis secara keseluruhan.

5. Tindakan perbaikan: Berdasarkan hasil analisis, rumah sakit dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Tindakan perbaikan dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja di setiap perspektif BSC.

6. Komunikasi dan pelaporan: Hasil pengukuran kinerja perlu dikomunikasikan kepada seluruh anggota organisasi, termasuk tim manajemen dan staf. Pelaporan yang teratur dan transparan mengenai kinerja organisasi berdasarkan BSC dapat membantu semua pihak memahami tujuan strategis dan memberikan masukan yang diperlukan.


Key Performance Indicator 

Dalam setiap perspektif BSC, terdapat indikator kunci yang relevan untuk rumah sakit. Berikut adalah beberapa contoh indikator kunci yang umum digunakan dalam masing-masing perspektif BSC untuk rumah sakit:

1. Perspektif Keuangan:

Pendapatan per pasien

Laba bersih

Persentase kepatuhan terhadap anggaran

Tingkat pengeluaran per pasien

Persentase penerimaan dari asuransi kesehatan

2. Perspektif Pelanggan:

Tingkat kepuasan pasien

Waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan

Tingkat kepercayaan pasien dalam pelayanan rumah sakit

Tingkat kepatuhan pasien terhadap perawatan dan pengobatan

Jumlah keluhan pasien yang diselesaikan secara memuaskan

3. Perspektif Proses Internal:

Tingkat efisiensi pelayanan rawat inap atau rawat jalan

Persentase pasien yang mendapatkan perawatan sesuai standar

Tingkat kesalahan pengobatan

Tingkat kejadian infeksi terkait perawatan

Waktu rata-rata tinggal pasien di rumah sakit

Persentase ketersediaan obat dan bahan medis habis pakai

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan:

Tingkat partisipasi staf dalam pelatihan dan pengembangan

Rasio staf per pasien

Persentase staf dengan sertifikasi atau lisensi yang relevan

Tingkat retensi staf yang tinggi

Jumlah inovasi atau perbaikan yang diimplementasikan


Penting untuk dicatat bahwa indikator kunci dapat berbeda antara rumah sakit satu dengan lainnya, tergantung pada strategi dan prioritas masing-masing rumah sakit. Indikator kunci yang relevan harus dipilih dengan cermat agar sesuai dengan tujuan dan kebutuhan spesifik rumah sakit.

Keterkaitan antar Indikator 

Keterkaitan antara indikator kunci dalam setiap perspektif dalam Balance Scorecard (BSC) sangat penting karena mencerminkan hubungan yang holistik antara berbagai aspek kinerja rumah sakit. Berikut adalah penjelasan tentang pentingnya keterkaitan antara indikator kunci dalam setiap perspektif BSC:

1. Perspektif Keuangan:

Indikator kunci dalam perspektif keuangan memberikan gambaran tentang kesehatan keuangan rumah sakit. Keterkaitannya dengan indikator kunci dari perspektif lain adalah penting karena kinerja keuangan yang baik dapat mendukung investasi dalam perbaikan proses internal, pelanggan yang lebih puas, dan pertumbuhan serta pembelajaran yang berkelanjutan.

2. Perspektif Pelanggan:

Indikator kunci dalam perspektif pelanggan mengukur kepuasan pasien dan pengalaman mereka dengan pelayanan rumah sakit. Keterkaitan dengan indikator kunci dari perspektif lain penting karena kepuasan pasien yang tinggi berkontribusi pada pencapaian tujuan keuangan, peningkatan proses internal yang efektif, dan pertumbuhan serta pembelajaran yang berkelanjutan.

3. Perspektif Proses Internal:

Indikator kunci dalam perspektif proses internal mengukur kinerja operasional rumah sakit, termasuk efisiensi, kualitas pelayanan, dan kepatuhan terhadap standar medis. Keterkaitannya dengan indikator kunci dari perspektif lain penting karena proses internal yang baik berdampak pada kepuasan pelanggan, efisiensi pengelolaan keuangan, dan kemampuan untuk terus belajar dan tumbuh.

4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan:

Indikator kunci dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mengukur kemampuan rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan staf, serta inovasi dalam praktik dan proses. Keterkaitannya dengan indikator kunci dari perspektif lain penting karena pertumbuhan dan pembelajaran yang berkelanjutan memberikan landasan bagi keunggulan dalam pelanggan, proses internal, dan kinerja keuangan.


Dengan adanya keterkaitan yang kuat antara indikator kunci dalam setiap perspektif, rumah sakit dapat menerapkan pendekatan yang seimbang dalam pengukuran kinerja. Ini memungkinkan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana peningkatan dalam satu aspek kinerja dapat berdampak pada aspek lainnya, dan bagaimana pencapaian tujuan dalam setiap perspektif secara keseluruhan berkontribusi pada keberhasilan dan keberlanjutan rumah sakit.


Manfaat Penerapan BSC

Penerapan konsep Balance Scorecard (BSC) dalam rumah sakit dapat memberikan berbagai manfaat yang signifikan, di antaranya:

1. Pengukuran Kinerja yang Holistik: BSC membantu rumah sakit untuk melihat kinerja mereka secara holistik melalui berbagai perspektif, seperti keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Dengan memperhatikan semua aspek ini, rumah sakit dapat mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang kinerja mereka, bukan hanya berfokus pada satu aspek saja.

2. Fokus pada Sasaran Strategis: BSC membantu rumah sakit dalam merumuskan dan mengkomunikasikan sasaran strategis mereka. Dengan mengidentifikasi indikator kunci kinerja (KPI) yang relevan untuk setiap perspektif, rumah sakit dapat mengarahkan upaya mereka pada hal-hal yang penting untuk mencapai visi dan misi organisasi.

3. Perbaikan Proses Internal: Dengan melibatkan perspektif proses internal, BSC membantu rumah sakit untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan perbaikan. Rumah sakit dapat mengukur kinerja proses mereka, mengidentifikasi ketidaksempurnaan, dan mengimplementasikan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan efisiensi, kualitas, dan kepatuhan terhadap standar medis.

4. Peningkatan Kepuasan Pasien: Dalam perspektif pelanggan, BSC membantu rumah sakit untuk memahami dan meningkatkan kepuasan pasien. Dengan mengukur indikator kunci yang terkait dengan kepuasan pasien, rumah sakit dapat mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan mengambil tindakan untuk memberikan pengalaman pelayanan yang lebih baik.

5. Pembelajaran dan Inovasi: Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dalam BSC mendorong rumah sakit untuk berfokus pada pengembangan karyawan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan, serta inovasi dalam praktik dan proses. Hal ini membantu rumah sakit untuk menjadi organisasi yang belajar dan adaptif, mendorong perbaikan berkelanjutan dan inovasi dalam pelayanan kesehatan.

Dengan menerapkan konsep BSC, rumah sakit dapat mengoptimalkan kinerja mereka secara keseluruhan, mencapai tujuan strategis, meningkatkan kepuasan pasien, dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sektor kesehatan. Ini akan membantu rumah sakit untuk menjadi organisasi yang efektif, efisien, dan berkualitas tinggi dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Manfaat penerapan BSC terkonfirmasi dalam sebuah studi systematic review pada 20 jurnal penelitian terkait implementasi BSC di rumah sakit dan klinik menunjukkan hasil positif dalam hal kepuasan pasien dan kinerja keuangan organisasi perawatan kesehatan. Namun, hanya terdapat dampak yang ringan terkait kepuasan tenaga kerja di bidang kesehatan. Namun, perlu dicatat bahwa banyak studi yang mencerminkan risiko bias yang tinggi, yang mungkin mempengaruhi dampak pada tiga hasil utama yang diukur.

Dampak Implementasi BSC pada Performa Keuangan (USD)

Dampak Implementasi BSC pada Kinerja Keuangan (%)

Dampak Implementasi BSC pada Kepuasan Staf

Dampak Implementasi BSC pada Kepuasan Pasien

Kesimpulan

Implementasi Balance Scorecard (BSC) memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan mutu rumah sakit. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa penggunaan BSC dapat memberikan dampak positif terhadap kepuasan pasien dan kinerja keuangan rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa BSC dapat menjadi alat yang efektif untuk mengukur dan mengelola berbagai aspek kinerja rumah sakit secara holistik.

Dalam implementasi BSC, rumah sakit perlu memperhatikan indikator kunci yang relevan dalam setiap perspektif, seperti kepuasan pasien, kepuasan tenaga kerja, kinerja keuangan, dan proses bisnis internal. Dengan memiliki indikator yang tepat, rumah sakit dapat memantau dan mengukur pencapaian target yang telah ditetapkan serta mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki.

Selain itu, implementasi BSC juga memungkinkan rumah sakit untuk mengarahkan sumber daya dan upaya mereka secara lebih efisien dan efektif. Dengan memiliki pemahaman yang jelas tentang tujuan jangka panjang dan strategi organisasi, rumah sakit dapat mengalokasikan sumber daya dengan lebih bijaksana, meningkatkan efisiensi operasional, dan meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.

Namun, perlu diperhatikan bahwa implementasi BSC juga memiliki tantangan tersendiri, seperti pemilihan indikator yang tepat, pengumpulan data yang akurat, dan komunikasi yang efektif kepada seluruh stakeholder rumah sakit. Oleh karena itu, keseriusan dan komitmen dari seluruh jajaran manajemen rumah sakit sangat diperlukan dalam menerapkan konsep BSC secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, implementasi BSC sebagai alat pengukuran kinerja dan pengelolaan mutu dapat membantu rumah sakit dalam meningkatkan kepuasan pasien, kinerja keuangan, dan efisiensi operasional. Dengan pemantauan yang terus menerus dan penyesuaian yang tepat, rumah sakit dapat terus berinovasi dan meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan, sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi pasien dan masyarakat.


Daftar Pustaka

Amer, F., Hammoud, S., Khatatbeh, H., Lohner, S., Boncz, I., & Endrei, D. (2022). The deployment of balanced scorecard in health care organizations: is it beneficial? A systematic review. BMC health services research, 22(1), 65. https://doi.org/10.1186/s12913-021-07452-7

Betto, F., Sardi, A., Garengo, P., & Sorano, E. (2022). The Evolution of Balanced Scorecard in Healthcare: A Systematic Review of Its Design, Implementation, Use, and Review. International journal of environmental research and public health, 19(16), 10291. https://doi.org/10.3390/ijerph191610291

Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1992). The balanced scorecard: Measures that drive performance. Harvard Business Review, 70(1), 71-79.

Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the balanced scorecard as a strategic management system. Harvard Business Review, 74(1), 75-85.

Vărzaru A. A. (2022). An Empirical Framework for Assessing the Balanced Scorecard Impact on Sustainable Development in Healthcare Performance Measurement. International journal of environmental research and public health, 19(22), 15155. https://doi.org/10.3390/ijerph192215155


Friday, June 9, 2023

APOTEKER "GOOD TO GREAT"

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes., M.Farm.Klin
Apoteker RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Anggota HISFARSI PD. IAI Jawa Barat


Apa itu "Good to Great" ?

"Good to Great" adalah judul sebuah buku yang ditulis oleh Jim Collins. Buku ini menggambarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Collins dan timnya selama lima tahun untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membedakan perusahaan yang baik menjadi perusahaan yang luar biasa.

Jim Collins menyusun konsep "Good to Great". Latar belakang penyusunan buku ini terletak pada keinginannya untuk memahami mengapa beberapa perusahaan berhasil mencapai tingkat keunggulan yang luar biasa, sementara yang lain tetap berada di tingkat yang baik namun tidak mencapai keunggulan yang sama.

Collins ingin mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang membedakan perusahaan yang mampu bertransformasi dari "baik" menjadi "hebat" dalam jangka waktu yang lama. Untuk mencapai tujuan ini, ia dan timnya melakukan penelitian selama lima tahun, menganalisis data dari ribuan perusahaan dan mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang berhasil mencapai kinerja yang luar biasa dalam jangka waktu yang signifikan.

Selama penelitian ini, Collins mencoba memahami pola-pola umum yang muncul dari perusahaan-perusahaan yang berhasil bertransformasi menjadi perusahaan-perusahaan hebat. Melalui analisis mendalam dan wawancara dengan pemimpin perusahaan, Collins mengidentifikasi prinsip-prinsip dan strategi-strategi kunci yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan ini untuk mencapai keunggulan yang berkelanjutan.

Dengan hasil penelitiannya, Collins kemudian menyusun konsep "Good to Great" yang menjadi panduan bagi perusahaan-perusahaan dan individu untuk mencapai tingkat keunggulan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Dalam buku ini, Collins mengidentifikasi beberapa prinsip utama yang menjadi ciri perusahaan hebat. Berikut adalah ringkasan dari konsep "Good to Great":

1. Level 5 Leadership: Perusahaan yang luar biasa dipimpin oleh pemimpin yang rendah hati, berdedikasi, dan berorientasi pada keberhasilan organisasi daripada kepentingan pribadi.

2. First Who, Then What: Membangun tim yang hebat adalah prioritas utama. Merekrut orang yang tepat dan menempatkannya di posisi yang sesuai sebelum mengembangkan strategi yang tepat.

3. Confront the Brutal Facts: Perusahaan yang luar biasa menghadapi kenyataan yang sulit dengan jujur dan tegas. Mereka berani menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan perubahan pasar.

4. The Hedgehog Concept: Perusahaan harus memahami fokus inti mereka dan melakukan kegiatan yang mereka lakukan dengan baik. Mereka membangun keunggulan kompetitif di sekitar keahlian inti mereka.

5. A Culture of Discipline: Budaya perusahaan yang luar biasa didasarkan pada disiplin yang tinggi. Mereka menetapkan aturan yang jelas, menghilangkan distraksi, dan berfokus pada tujuan jangka panjang.

6. Technology Accelerators: Perusahaan yang luar biasa menggunakan teknologi sebagai akselerator untuk mencapai keunggulan. Namun, teknologi bukanlah fokus utama, tetapi alat untuk mendukung strategi bisnis.

7. The Flywheel Effect: Perubahan yang luar biasa terjadi secara bertahap. Seperti roda gila yang berputar, perusahaan membangun momentum melalui tindakan konsisten dan perbaikan terus menerus.

Konsep ini memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana perusahaan dapat mencapai keunggulan dalam bisnis mereka. Dengan menggambarkan prinsip-prinsip yang diambil dari penelitian yang mendalam, "Good to Great" menginspirasi untuk mengubah perusahaan mereka menjadi yang luar biasa.
Tantangan Apoteker Kini dan Nanti

Di era kemajuan sistem informasi dan ekspektasi pasien yang lebih tinggi terhadap pelayanan kesehatan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh dunia farmasi. Berikut adalah beberapa di antaranya:

1. Teknologi dan Sistem Informasi: Perkembangan teknologi informasi memungkinkan adanya akses yang lebih mudah dan cepat terhadap informasi kesehatan. Namun, tantangan yang dihadapi adalah memastikan keamanan dan privasi data pasien, mengelola data yang semakin besar dan kompleks, serta mengintegrasikan sistem informasi yang berbeda di berbagai layanan kesehatan.

2. Ekspektasi Pasien yang Lebih Tinggi: Pasien saat ini memiliki ekspektasi yang lebih tinggi terhadap pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan farmasi. Mereka menginginkan akses yang mudah dan cepat terhadap obat-obatan, informasi yang jelas dan akurat tentang obat, serta pelayanan yang lebih personal dari apoteker. Tantangan bagi dunia farmasi adalah untuk memenuhi ekspektasi ini dan memberikan pengalaman pelayanan yang lebih baik kepada pasien.

3. Perubahan dalam Praktik Farmasi: Praktik farmasi juga mengalami perubahan dengan adanya peningkatan fokus pada pelayanan farmasi yang terintegrasi dan kolaboratif. Apoteker tidak hanya berperan sebagai penyalur obat, tetapi juga sebagai anggota tim perawatan kesehatan yang memberikan layanan konseling, pemantauan terapi, dan manajemen penyakit. Tantangan yang dihadapi adalah memastikan adanya peningkatan kualitas dan konsistensi pelayanan farmasi di berbagai setting, serta memperkuat peran apoteker dalam tim perawatan kesehatan.

4. Regulasi dan Kebijakan: Perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan dan kebijakan farmasi dapat menjadi tantangan bagi dunia farmasi. Perubahan regulasi dan kebijakan dapat mempengaruhi praktik farmasi, akses obat, dan sistem penggantian biaya. Apoteker perlu terus memantau perubahan ini dan beradaptasi dengan peraturan yang baru.

5. Pengembangan Profesional dan Keterampilan: Kemajuan dalam bidang farmasi juga mengharuskan apoteker untuk terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka. Apoteker perlu mengikuti perkembangan ilmiah, teknologi, dan praktik terbaru untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Tantangan yang dihadapi adalah memastikan adanya kesempatan pengembangan profesional yang kontinu dan dukungan pendidikan yang relevan.

Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara apoteker, penyedia layanan kesehatan, pemangku kepentingan, dan pemerintah sangat penting untuk menciptakan solusi yang efektif dan menjaga kualitas pelayanan farmasi yang tinggi.


Apoteker "Good to Great" 

Merespon tantangan yang sedang dan akan dihadapi apoteker. Penulis mencoba mengintegrasikan konsep "Good to Great" diterapkan dalam pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker, berikut adalah beberapa bentuk konsepnya:

1. Level 5 Leadership: Seorang apoteker perlu menjadi pemimpin yang rendah hati, berdedikasi, dan berorientasi pada keberhasilan pasien dan masyarakat. Mereka harus mampu menginspirasi tim, berkolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dan memimpin perubahan dalam praktik farmasi.

2. First Who, Then What: Memiliki tim apoteker yang berkualitas dan berkompeten adalah kunci untuk memberikan pelayanan yang luar biasa. Apoteker perlu merekrut, melatih, dan memberdayakan tim yang berdedikasi untuk memberikan perawatan farmasi yang berkualitas tinggi.

3. Confront the Brutal Facts: Apoteker harus menghadapi kenyataan yang sulit dalam praktik farmasi. Mereka harus terbuka terhadap masalah dan tantangan yang ada dalam sistem perawatan kesehatan dan mencari solusi inovatif untuk meningkatkan pelayanan.

4. The Hedgehog Concept: Apoteker perlu memfokuskan pada keahlian inti mereka dalam memberikan pelayanan farmasi yang berkualitas. Mereka harus memahami peran mereka dalam tim perawatan kesehatan, memaksimalkan pengetahuan mereka tentang obat-obatan, memberikan konseling yang efektif kepada pasien, dan memastikan keamanan dan efektivitas penggunaan obat.

5. A Culture of Discipline: Budaya disiplin harus diterapkan dalam praktik farmasi. Apoteker harus mematuhi aturan, prosedur, dan peraturan yang berkaitan dengan praktik farmasi. Mereka juga harus melibatkan diri dalam pengembangan diri terus-menerus melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan.

6. Technology Accelerators: Pemanfaatan teknologi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi. Apoteker perlu mengadopsi teknologi yang relevan, seperti sistem manajemen informasi farmasi, otomatisasi dispensasi obat, atau aplikasi kesehatan digital untuk meningkatkan pengalaman pasien dan efektivitas pengobatan.

7. The Flywheel Effect: Meningkatkan praktik farmasi dari baik menjadi luar biasa membutuhkan perubahan yang berkelanjutan. Apoteker harus terus berupaya meningkatkan praktik mereka, menerapkan inisiatif perbaikan berkelanjutan, dan mendapatkan umpan balik dari pasien dan tim kesehatan untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan.
Tantangan Penerapan Konsep Apoteker "Good to Great"

Ada beberapa tantangan yang mungkin dihadapi dalam mewujudkan konsep "Good to Great" dalam praktik kefarmasian. Beberapa tantangan yang mungkin adalah :

1. Perubahan Budaya: Mengubah budaya dan mindset di dalam organisasi farmasi dapat menjadi tantangan besar. Diperlukan dukungan dan komitmen dari seluruh tim untuk menerima dan mengadopsi perubahan yang diperlukan untuk mencapai tingkat keunggulan.

2. Keterbatasan Sumber Daya: Terkadang, keterbatasan sumber daya seperti anggaran, tenaga kerja, atau infrastruktur dapat menjadi hambatan dalam menerapkan praktik kefarmasian yang luar biasa. Diperlukan pengelolaan sumber daya yang efisien dan kreativitas dalam mencari solusi yang sesuai dengan kondisi yang ada.

3. Perubahan Regulasi: Industri farmasi sering kali terkena perubahan regulasi dan kebijakan yang dapat mempengaruhi praktik dan layanan farmasi. Apoteker perlu tetap memantau dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini agar tetap sesuai dengan peraturan dan kepatuhan yang diperlukan.

4. Penerimaan Pasien dan Masyarakat: Mengubah persepsi dan harapan pasien serta masyarakat terhadap peran apoteker dan nilai pelayanan farmasi yang luar biasa dapat menjadi tantangan. Diperlukan upaya komunikasi dan edukasi yang efektif untuk membangun kepercayaan dan kesadaran akan manfaat praktik kefarmasian yang lebih baik.

5. Ketidakpastian dalam Industri Kesehatan: Industri kesehatan terus berubah dan berkembang dengan cepat. Tantangan seperti perubahan dalam model pembayaran, perkembangan teknologi, atau peningkatan persaingan dapat mempengaruhi praktik kefarmasian. Apoteker perlu bersikap fleksibel dan adaptif dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

6. Penyediaan Pelatihan dan Pengembangan: Meningkatkan kualitas pelayanan farmasi membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan terlatih dengan baik. Tantangan dalam menyediakan pelatihan dan pengembangan yang relevan dan berkualitas untuk apoteker dan tenaga farmasi dapat menjadi kendala.

7. Evaluasi dan Pengukuran Kinerja: Menilai dan mengukur kinerja dalam mencapai tingkat keunggulan merupakan tantangan tersendiri. Diperlukan sistem evaluasi yang efektif dan pengukuran yang akurat untuk melihat kemajuan dan mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki.

Tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan pendekatan yang proaktif, kepemimpinan yang kuat, dan komitmen yang kuat dari seluruh tim farmasi.

Apa yang harus dilakukan ?

Untuk mewujudkan konsep apoteker "Good to Great", ada beberapa persiapan yang dapat dilakukan. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:

1. Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan: Apoteker perlu terus meningkatkan pendidikan dan pengetahuannya melalui program pendidikan lanjutan, pelatihan, dan sertifikasi. Ini akan membantu mereka memperdalam pemahaman tentang ilmu farmasi terbaru, tren industri, manajemen, dan keterampilan komunikasi.

2. Pengembangan Kompetensi Kepemimpinan: Apoteker dapat mengambil inisiatif dalam mengembangkan keterampilan kepemimpinan mereka dengan mengikuti pelatihan kepemimpinan dan berpartisipasi dalam proyek atau inisiatif yang memungkinkan mereka untuk memimpin tim atau mengambil peran kepemimpinan dalam organisasi atau komunitas farmasi.

3. Peningkatan Kualitas Pelayanan: Apoteker perlu fokus pada peningkatan kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada pasien. Ini dapat meliputi pengembangan prosedur standar yang jelas, pemantauan penggunaan obat yang tepat, pendidikan pasien, konseling yang efektif, dan kolaborasi yang erat dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya.

4. Penerapan Teknologi dan Sistem Informasi: Memanfaatkan kemajuan teknologi dan sistem informasi dalam praktik farmasi dapat membantu apoteker meningkatkan efisiensi, akurasi, dan keamanan dalam memberikan pelayanan. Apoteker perlu mempelajari dan mengadopsi aplikasi dan sistem yang relevan, seperti sistem pengelolaan informasi pasien, alat bantu pengambilan keputusan, dan teknologi komunikasi.

5. Kolaborasi Interprofesional: Apoteker perlu menjalin kerja sama yang erat dengan anggota tim perawatan kesehatan lainnya, termasuk dokter, perawat, ahli farmasi, dan profesional kesehatan lainnya. Kolaborasi yang baik dapat meningkatkan koordinasi perawatan pasien dan memberikan hasil yang lebih baik.

6. Mengikuti Perkembangan Industri dan Riset: Apoteker harus tetap up-to-date dengan perkembangan terkini dalam industri farmasi, penelitian obat, pedoman klinis, dan kebijakan terkait. Mereka perlu terus memperbarui pengetahuan mereka agar dapat mengikuti perkembangan terbaru dalam pengobatan dan memberikan praktik berbasis bukti kepada pasien.

7. Mengikuti Etika Profesi: Etika profesional sangat penting dalam praktik farmasi. Apoteker perlu mematuhi kode etik profesi dan menjaga integritas serta kepercayaan pasien. Mereka juga harus menjaga kerahasiaan informasi pasien dan melaksanakan praktik farmasi dengan standar tertinggi.

Melalui persiapan-persiapan ini, apoteker dapat meningkatkan praktik dan pelayanan mereka, serta berkontribusi pada perkembangan dan kemajuan dalam dunia farmasi.
Penutup

Konsep "Good to Great" adalah salah satu konsep dari berbagai konsep pengembangan sistem manajerial dan personal. Konsep ini memiliki keunggulan dimana penyusun nya tidak hanya melakukan penelusuran literatur tapi melakukan penelitian secara kualitatif. Konsep ini didesain untuk menghadapi kondisi internal dan eksternal yang serba tidak pasti. Konsep ini pun menegaskan untuk mencapai kondisi "hebat" yang akan mengungguli mereka yang "baik". 

Apoteker akan menghadapi lingkungan sebagai profesi lainnya. Perubahan-perubahan kondisi eksternal, ekspektasi pasien sudah diluar nalar, yang harus bisa diatasi sehingga menemukan titik solusi yang dapat ditawarkan. Berdiam diri tanpa inovasi artinya tinggal menunggu hari kematian. Profesi ini hanya dianggap baik tanpa kontribusi hebat. Semoga tawaran integrasi konsep ini dapat menambah wacana untuk memperluas wawasan apoteker.

Salam Apoteker Hebat !!!





Thursday, June 8, 2023

Konsep Dasar Evidence Based Medicine dalam Praktik Kefarmasian

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes.,M.Farm.Klin


Evidence Based Medicine (EBM) adalah pendekatan dalam pengambilan keputusan medis yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Konsep ini bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan klinis, pengalaman klinis, dan preferensi pasien dengan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh melalui penelitian yang berkualitas. EBM mendorong praktisi medis, termasuk apoteker, untuk menggunakan bukti ilmiah yang kuat dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan, pencegahan, dan manajemen penyakit.

Penerapan EBM dalam praktik apoteker memungkinkan apoteker untuk menyediakan layanan farmasi yang berkualitas dan berdasarkan bukti. Apoteker dapat menggunakan penelitian klinis, meta-analisis, panduan praktik klinis, dan literatur ilmiah lainnya untuk menghasilkan keputusan yang tepat. Dengan memiliki pengetahuan tentang EBM, apoteker dapat memastikan bahwa rekomendasi mereka didasarkan pada bukti yang kuat dan memberikan manfaat terbaik bagi pasien. Selain itu, EBM juga memungkinkan apoteker untuk terus mengembangkan dan meningkatkan praktik mereka dengan memperbarui pengetahuan melalui penelitian terbaru dan bukti ilmiah yang terkini. Dengan demikian, pengenalan tentang konsep EBM penting bagi apoteker dalam memberikan pelayanan yang optimal dan berdasarkan bukti ilmiah.

Prinsip Dasar EBM

Prinsip Dasar EBM adalah pendekatan yang sistematis dan terstruktur dalam pengambilan keputusan klinis yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaik yang tersedia. Prinsip-prinsip ini membantu memastikan bahwa praktik klinis didasarkan pada penelitian yang terpercaya dan relevan, serta membantu menghindari keputusan berdasarkan kepercayaan semata atau pengalaman individu yang terbatas. 

Prinsip dasar EBM melibatkan penggunaan bukti ilmiah yang terbaik. Ini berarti mengumpulkan dan mengevaluasi penelitian yang berkualitas tinggi, seperti uji klinis acak terkontrol, meta-analisis, atau ulasan sistematis, untuk mendapatkan bukti yang akurat dan valid. Dengan menggunakan pendekatan ini, praktisi kesehatan termasuk apoteker dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang manfaat, risiko, dan efek samping dari berbagai intervensi dan memastikan bahwa keputusan perawatan didasarkan pada bukti yang solid.

Prinsip dasar EBM juga melibatkan integrasi bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan preferensi pasien. Ini berarti bahwa bukti ilmiah harus digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan klinis, tetapi juga harus dipertimbangkan bersama dengan pengetahuan dan pengalaman klinis praktisi, serta nilai-nilai, preferensi, dan harapan pasien. Prinsip ini menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan yang terpusat pada pasien, di mana keputusan perawatan dikembangkan bersama dengan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.


Secara keseluruhan, prinsip dasar EBM menyediakan kerangka kerja yang sistematis untuk mengintegrasikan bukti ilmiah dengan praktik klinis dan preferensi pasien. Dengan menggunakan prinsip-prinsip ini, apoteker dan praktisi kesehatan lainnya dapat mengambil keputusan yang terinformasi secara lebih baik, meningkatkan kualitas perawatan, dan mengoptimalkan hasil bagi pasien.

Hierarki bukti dalam EBM

Hierarki bukti dalam Evidence-Based Medicine (EBM) adalah suatu sistem yang digunakan untuk menggolongkan jenis bukti ilmiah berdasarkan tingkat kekuatan dan kualitasnya. Hierarki ini membantu praktisi kesehatan, termasuk apoteker, dalam mengevaluasi dan menggunakan bukti yang paling dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan klinis.

Pada puncak hierarki bukti terdapat penelitian berbasis bukti tingkat tinggi yang meliputi meta-analisis, ulasan sistematis (systematic review), dan uji klinis acak terkontrol (randomized control trial). Jenis penelitian ini biasanya dianggap sebagai bukti yang paling kuat karena melibatkan pengumpulan data dari beberapa studi yang telah diuji dan dinilai secara kritis oleh para ahli.


Di bawahnya, terdapat studi observasional, seperti studi kohort dan studi kasus kontrol, yang memberikan bukti yang lebih lemah dibandingkan dengan uji klinis acak terkontrol. Studi observasional ini mempelajari hubungan antara faktor risiko atau intervensi dengan hasil klinis, tetapi memiliki keterbatasan dalam pengendalian variabel dan memungkinkan adanya bias.

Selanjutnya, terdapat bukti berupa opini ahli, laporan kasus, dan pendapat otoritas yang berada di tingkatan hierarki yang lebih rendah. Meskipun memiliki tingkat kekuatan yang lebih rendah, bukti ini masih memiliki nilai informatif dan dapat memberikan panduan dalam situasi di mana bukti tingkat tinggi tidak tersedia.

Penting untuk memahami hierarki bukti dalam EBM dan menggunakan bukti dengan tingkat kekuatan yang sesuai dengan pertanyaan klinis yang dihadapi. Hal ini membantu apoteker dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada bukti yang lebih kuat, meningkatkan keamanan dan efektivitas pengobatan, serta memberikan perawatan yang lebih baik kepada pasien.

Peran apoteker dalam menerapkan EBM

Peran apoteker dalam penerapan Evidence-Based Medicine (EBM) sangat penting dalam memberikan pelayanan farmasi yang berkualitas dan berbasis bukti. Berikut adalah beberapa peran apoteker dalam penerapan EBM:

1. Evaluasi dan interpretasi bukti ilmiah: Apoteker memiliki pengetahuan yang mendalam tentang literatur ilmiah terkait penggunaan obat dan pengelolaan penyakit. Mereka mampu mengevaluasi dan menginterpretasikan bukti ilmiah yang ada untuk membantu dalam pengambilan keputusan klinis yang berbasis bukti.

2. Memberikan rekomendasi berdasarkan bukti: Apoteker dapat memberikan rekomendasi yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini kepada tim perawatan kesehatan, termasuk dokter dan pasien. Mereka dapat menjelaskan manfaat, risiko, dan alternatif pengobatan berdasarkan bukti yang ada untuk membantu pasien dalam membuat keputusan yang informasi.

3. Edukasi pasien: Apoteker memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada pasien tentang penggunaan obat yang tepat, efek samping yang mungkin terjadi, dan interaksi obat. Dengan mengedukasi pasien berdasarkan bukti ilmiah, apoteker membantu pasien memahami manfaat pengobatan dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

4. Kolaborasi dengan tim perawatan kesehatan: Apoteker bekerja sama dengan tim perawatan kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya, untuk mengoptimalkan penggunaan obat. Mereka dapat memberikan masukan berdasarkan bukti ilmiah dalam pengambilan keputusan tentang pilihan obat, dosis yang tepat, dan pemantauan terapi.

5. Melakukan penelitian dan evaluasi obat: Apoteker juga terlibat dalam penelitian dan evaluasi obat yang melibatkan pengumpulan dan analisis data untuk mendapatkan bukti ilmiah yang lebih kuat. Mereka dapat melakukan studi farmakoepidemiologi, farmakoekonomi, dan penilaian obat untuk menginformasikan keputusan klinis dan kebijakan farmasi.

Dengan peran aktif dalam penerapan EBM, apoteker dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan farmasi, meningkatkan penggunaan obat yang rasional, dan memberikan perawatan yang lebih efektif dan aman kepada pasien.

Pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah

Proses pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah melibatkan langkah-langkah berikut:

1. Identifikasi pertanyaan penelitian: Langkah pertama adalah mengidentifikasi pertanyaan penelitian yang spesifik dan relevan dalam konteks yang dituju. Pertanyaan ini harus jelas dan terkait dengan topik yang ingin diteliti.

2. Pencarian literatur: Setelah pertanyaan penelitian ditentukan, langkah berikutnya adalah melakukan pencarian literatur untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang relevan. Pencarian dapat dilakukan melalui basis data jurnal ilmiah, repositori, atau sumber informasi lainnya.

3. Seleksi dan penilaian artikel: Setelah literatur dikumpulkan, artikel-artikel yang relevan harus diseleksi dan dinilai kualitasnya. Penilaian dilakukan untuk mengevaluasi validitas dan kehandalan bukti ilmiah yang terdapat dalam artikel tersebut. Beberapa faktor yang dinilai meliputi desain penelitian, metodologi, ukuran sampel, hasil, dan potensi bias.

4. Ekstraksi data: Setelah penilaian artikel dilakukan, data relevan yang terkandung dalam artikel dipilih dan diekstraksi. Ini melibatkan pengekstrakan informasi seperti populasi penelitian, metode, hasil, dan kesimpulan yang diperoleh.

5. Analisis dan sintesis: Data yang diekstraksi kemudian dianalisis dan disintesis untuk menggambarkan temuan utama dari studi yang telah dinilai. Proses ini melibatkan pembandingan hasil studi yang berbeda untuk melihat konsistensi dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan.

6. Penulisan laporan dan kesimpulan: Hasil analisis dan sintesis bukti ilmiah kemudian digunakan untuk menyusun laporan yang menyajikan temuan dan kesimpulan dari penelitian. Laporan ini dapat berupa artikel ilmiah, ulasan sistematis, atau meta-analisis, tergantung pada tujuan penelitian.


Proses pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah ini memastikan bahwa bukti yang digunakan dalam pengambilan keputusan klinis didasarkan pada metodologi yang kuat dan informasi yang dapat dipercaya. Hal ini membantu memastikan penggunaan terbaik dari bukti ilmiah yang ada untuk meningkatkan perawatan pasien dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti.

Integrasi bukti ilmiah dan konteks masalah

Integrasi bukti ilmiah dengan konteks adalah langkah penting dalam pengambilan keputusan berdasarkan bukti ilmiah. Ini melibatkan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual yang dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah dalam situasi yang spesifik. Berikut adalah beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan:

1. Karakteristik pasien: Setiap pasien memiliki karakteristik yang unik, termasuk usia, jenis kelamin, riwayat medis, kondisi kesehatan, dan preferensi pribadi. Saat menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor ini. Misalnya, jika sebuah penelitian hanya melibatkan pasien dewasa, tetapi pasien Anda adalah seorang anak, maka perlu dipertimbangkan apakah temuan tersebut masih berlaku dalam konteks anak.

2. Kebijakan dan pedoman organisasi: Setiap organisasi kesehatan mungkin memiliki kebijakan dan pedoman khusus yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Ini bisa termasuk panduan pengobatan internal, protokol praktik, atau kebijakan penggunaan obat tertentu. Penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan kebijakan dan pedoman organisasi yang ada.

3. Sumber daya yang tersedia: Ketersediaan sumber daya seperti obat, peralatan medis, atau tenaga medis juga dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah. Misalnya, jika sebuah penelitian menunjukkan efektivitas suatu obat yang mahal dan sulit diakses, maka penerapannya dalam konteks dengan sumber daya terbatas dapat menjadi tantangan. Pertimbangkan faktor-faktor ini dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks.

4. Preferensi pasien: Preferensi dan nilai-nilai pasien juga harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan berdasarkan bukti ilmiah. Apakah pasien memiliki preferensi khusus terkait pengobatan atau intervensi tertentu? Apakah ada faktor-faktor psikososial yang perlu dipertimbangkan? Menghormati preferensi pasien dan mempertimbangkan aspek psikososial membantu memastikan bahwa pengambilan keputusan sejalan dengan kebutuhan dan nilai-nilai pasien.

5. Konteks sosial dan budaya: Konteks sosial dan budaya juga berperan dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks. Nilai-nilai budaya dan norma sosial dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah. Misalnya, ada kepercayaan tertentu terkait pengobatan tradisional atau metode pengobatan alternatif dalam suatu budaya tertentu. Memahami dan menghormati aspek budaya dan sosial membantu memastikan penerapan bukti ilmiah yang relevan dan dapat diterima secara sosial.

Dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks, penting untuk memiliki pemahaman yang komprehensif tentang situasi yang spesifik dan mempertimbangkan semua aspek yang relevan. 

Pemberian informasi dan edukasi kepada pasien

Prinsip EBM dapat diterapkan dalam menyusun konten informasi yang dapat diberikan kepada pasien. Penyusun informasi berbasis EBM yang mudah dipahami oleh pasien yang awam, dapat mengikuti langkah-langkah berikut :

1. Gunakan bahasa yang jelas dan sederhana: Hindari penggunaan istilah medis atau teknis yang rumit. Gunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami oleh pasien. Jelaskan konsep-konsep penting dengan kata-kata yang mudah dimengerti.

2. Fokus pada poin-poin kunci: Identifikasi poin-poin utama yang ingin Anda sampaikan kepada pasien. Jangan terlalu membebani dengan detail yang terlalu teknis atau kompleks. Sederhanakan informasi menjadi poin-poin penting yang relevan bagi pasien.

3. Gunakan contoh konkret: Gunakan contoh konkret atau cerita pendek untuk mengilustrasikan informasi yang ingin disampaikan. Contoh-contoh ini dapat membantu pasien memahami konsep dengan lebih baik dan merasa lebih terhubung dengan informasi yang diberikan.

4. Visualisasi informasi: Gunakan grafik, diagram, atau ilustrasi visual lainnya untuk memvisualisasikan informasi secara jelas. Visualisasi dapat membantu pasien dalam memahami informasi secara lebih intuitif dan mengingatnya dengan lebih baik.

5. Sediakan sumber referensi: Jika memungkinkan, sertakan sumber referensi atau rujukan yang dapat diakses oleh pasien. Ini dapat memberikan kepercayaan kepada pasien bahwa informasi yang disampaikan didasarkan pada bukti ilmiah yang valid.

6. Dengarkan pertanyaan dan tanggapan pasien: Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya atau memberikan tanggapan terkait informasi yang disampaikan. Dengarkan dengan saksama dan jawab dengan jelas dan akurat. Pastikan pasien merasa didengarkan dan dipahami.

7. Gunakan media komunikasi yang tepat: Sesuaikan cara penyampaian informasi dengan preferensi pasien. Beberapa pasien mungkin lebih suka mendapatkan informasi secara tertulis, sementara yang lain lebih memilih penjelasan lisan atau menggunakan media visual.

Dalam menyusun informasi berbasis EBM yang mudah dipahami oleh pasien yang awam, penting untuk mengutamakan kejelasan, kesederhanaan, dan relevansi. Memiliki kesabaran dan empati dalam menjelaskan informasi serta memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi akan membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik dan memperkuat hubungan pasien-apoteker.

Tantangan dalam penerapan EBM bagi apoteker

Tantangan penerapan EBM dalam praktik kefarmasian dapat meliputi hal-hal berikut:

1. Keterbatasan akses dan pemahaman terhadap bukti ilmiah: Tidak semua apoteker memiliki akses mudah ke sumber-sumber informasi ilmiah yang terkini. Selain itu, memahami dan mengevaluasi bukti ilmiah juga membutuhkan keterampilan khusus. Tantangan ini dapat menghambat apoteker dalam mengambil keputusan berdasarkan bukti ilmiah yang terpercaya.

2. Peningkatan beban kerja: Apoteker sering memiliki beban kerja yang tinggi, termasuk tugas-tugas administratif dan klinis. Menyisihkan waktu untuk mencari, mengevaluasi, dan menerapkan bukti ilmiah dapat menjadi tantangan di tengah jadwal yang padat. Hal ini dapat menghambat penerapan EBM secara konsisten dan menyeluruh.

3. Kompleksitas informasi: Informasi ilmiah seringkali kompleks dan sulit dipahami oleh pasien atau masyarakat umum. Mentransfer informasi yang kompleks menjadi bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pasien merupakan tantangan tersendiri.

4. Kepercayaan dan resistensi terhadap perubahan: Tidak semua pihak dalam praktik kefarmasian menerima dengan mudah perubahan yang didasarkan pada bukti ilmiah. Beberapa apoteker mungkin masih mengandalkan pengetahuan dan pengalaman lama, sementara lainnya mungkin menghadapi ketidakpercayaan atau resistensi dari rekan sejawat atau pasien terhadap perubahan dalam praktik.

5. Keterbatasan sumber daya: Implementasi EBM yang efektif membutuhkan sumber daya yang memadai, termasuk akses ke sumber informasi ilmiah, waktu, dana, dan infrastruktur yang memadai. Tantangan ini dapat menjadi kendala terutama bagi praktik kefarmasian di lingkungan dengan sumber daya terbatas.

Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi apoteker untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam EBM, mengembangkan jaringan dengan rekan sejawat dan ahli EBM, serta mengadvokasi pentingnya penerapan EBM dalam praktik kefarmasian. Dukungan dari lembaga dan kebijakan yang memfasilitasi penggunaan dan penerapan EBM juga dapat membantu mengatasi tantangan ini.

Manfaat penerapan EBM bagi apoteker

Penerapan konsep EBM memberikan manfaat yang signifikan bagi apoteker dalam praktek mereka. Pertama, dengan menggunakan bukti ilmiah yang kuat, apoteker dapat memberikan perawatan farmasi yang lebih efektif dan aman kepada pasien. Mereka dapat menilai efektivitas, keamanan, dan efisiensi dari berbagai obat, intervensi farmasi, atau tindakan yang direkomendasikan berdasarkan bukti yang tersedia. Hal ini membantu menghindari risiko penggunaan obat yang tidak tepat atau tidak efektif, serta meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi.

Selain itu, penerapan EBM juga memungkinkan apoteker untuk berpartisipasi dalam proses pengembangan pedoman praktik klinis dan standar perawatan farmasi. Dengan mengacu pada bukti ilmiah yang terkini, apoteker dapat memberikan masukan berharga dalam mengembangkan pedoman yang relevan dan up-to-date. Ini membantu meningkatkan kualitas perawatan farmasi secara keseluruhan dan memastikan bahwa keputusan terkait pengobatan dan manajemen penyakit didasarkan pada bukti yang valid.

Secara keseluruhan, penerapan EBM memberikan dasar yang kuat bagi apoteker dalam mengambil keputusan terkait perawatan farmasi. Dengan menggunakan pendekatan yang berbasis bukti, apoteker dapat meningkatkan keputusan klinis mereka, mengoptimalkan perawatan pasien, dan memastikan keselamatan dan efektivitas penggunaan obat.

Rekomendasi untuk meningkatkan penerapan EBM di bidang farmasi

Untuk meningkatkan penerapan konsep EBM dalam praktik kefarmasian, berikut adalah rekomendasi yang penting untuk diberikan kepada pemegang kebijakan, lembaga pendidikan, organisasi profesi, dan individu apoteker:

1. Pemegang Kebijakan:

   a. Mendorong pengembangan kebijakan dan pedoman yang mendorong dan memfasilitasi penerapan EBM dalam praktik kefarmasian.

   b. Mendukung pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM bagi apoteker melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan atau lembaga terkait.

   c. Mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mendukung akses apoteker terhadap informasi dan sumber daya yang relevan dengan EBM, termasuk akses ke jurnal ilmiah dan database.

2. Lembaga Pendidikan:

   a. Mengintegrasikan pendidikan EBM ke dalam kurikulum pendidikan apoteker, termasuk pelatihan keterampilan penelusuran dan penilaian bukti ilmiah.

   b. Menyediakan sumber daya dan akses ke jurnal dan database ilmiah kepada mahasiswa apoteker.

   c. Mendorong mahasiswa apoteker untuk terlibat dalam penelitian dan pengembangan dalam bidang EBM.

3. Organisasi Profesi:

   a. Mendukung program-program pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM bagi apoteker yang sedang bekerja melalui seminar, konferensi, atau workshop terkait EBM.

   b. Membangun jaringan kolaborasi dengan lembaga pendidikan, organisasi lain, dan ahli EBM untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait EBM.

   c. Memberikan dukungan dan advokasi kepada anggota untuk menerapkan EBM dalam praktik kefarmasian mereka.

4. Individu Apoteker:

   a. Mengikuti program pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM secara aktif.

   b. Membangun keterampilan penelusuran dan penilaian bukti ilmiah, serta kemampuan dalam menerapkan bukti ilmiah dalam pengambilan keputusan klinis.

   c. Terus mengikuti perkembangan terbaru dalam bidang EBM melalui literatur ilmiah, jurnal, dan sumber daya online yang terpercaya.

   d. Terlibat dalam kegiatan penelitian dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan sesama apoteker.

Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini, diharapkan penerapan konsep EBM dalam praktik kefarmasian dapat meningkat, sehingga mendorong pengambilan keputusan yang lebih informasi dan berdasarkan bukti ilmiah, serta meningkatkan kualitas pelayanan farmasi secara keseluruhan.


Referensi : 

Fletcher, R. H., & Fletcher, S. W. (2019). Clinical Epidemiology: The Essentials (5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Greenhalgh, T. (2019). How to Read a Paper: The Basics of Evidence-Based Medicine (6th ed.). Chichester: John Wiley & Sons.

Guyatt, G., Rennie, D., Meade, M. O., & Cook, D. J. (2015). Users' Guides to the Medical Literature: A Manual for Evidence-Based Clinical Practice (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Education.

Mayer, D., Meller, W. F., & Simel, D. L. (2017). Essential Evidence-Based Medicine (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Straus, S. E., Glasziou, P., Richardson, W. S., & Haynes, R. B. (2018). Evidence-Based Medicine: How to Practice and Teach EBM (4th ed.). Edinburgh: Elsevier.



Tuesday, April 11, 2023

MENGENAL OBAT UNTUK PENYAKIT JANTUNG KORONER

Kali ini saya akan mengajak pembaca sekalian untuk mengenal obat-obatan  yang biasa digunakan dalam pengobatan penyakit Coronary Arterial Disease (CAD) atau Penyakit Jantung Koroner (PJK). Berikut adalah beberapa obat yang umum digunakan dalam pengobatan CAD beserta mekanisme kerjanya:

1. Antiplatelet, seperti Aspirin dan Clopidogrel: Obat ini bekerja dengan menghambat pembentukan bekuan darah dengan menghambat aktivasi platelet. Aspirin bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) dan mereduksi produksi tromboksan A2, sedangkan Clopidogrel bekerja dengan menghambat reseptor ADP pada platelet.

2. Beta blocker, seperti Metoprolol dan Atenolol: Obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas sistem saraf simpatis dan menurunkan denyut jantung, tekanan darah, serta beban kerja jantung. Beta blocker juga dapat meningkatkan aliran darah ke jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen jantung.

3. ACE inhibitor, seperti Lisinopril dan Enalapril: Obat ini bekerja dengan menghambat enzim konversi angiotensin (ACE) yang berperan dalam menghasilkan angiotensin II, suatu zat yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah. ACE inhibitor dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung.

4.  Statin, seperti Simvastatin dan Atorvastatin: Obat ini bekerja dengan menghambat enzim HMG-CoA reduktase, yang berperan dalam produksi kolesterol di hati. Statin juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-oksidan, yang dapat membantu mengurangi peradangan pada dinding arteri dan membantu melindungi sel-sel arteri dari kerusakan akibat stres oksidatif sehingga dapat membantu mencegah kerusakan dan pecahnya plak, yang dapat menyebabkan penggumpalan darah dan serangan jantung atau stroke.

5. Nitrat, seperti Isosorbid dinitrat dan Nitroglycerin: Obat ini bekerja dengan melebarkan pembuluh darah, terutama pembuluh darah koroner, sehingga meningkatkan aliran darah ke jantung dan mengurangi kebutuhan oksigen jantung. Nitrat juga dapat mengurangi nyeri dada yang timbul akibat CAD.
Penting untuk diingat bahwa penggunaan obat-obatan tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan dokter yang berwenang dan sesuai dengan kondisi pasien yang bersangkutan.

Monday, April 10, 2023

SAYA SUDAH MENGGUNAKAN OBAT HIPERTENSI, TAPI MENGAPA TEKANAN DARAH SAYA TAK KUNJUNG TERKONTROL ?

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes., M.Farm.Klin

Pertanyaan itu sering diajukan oleh pasien hipertensi yang belum juga mendapat hasil positif dari terapi yang dijalani. Sebuah analisis dari sampel NHANES 2003-2010 yang fokus pada karakteristik orang dengan hipertensi tidak terkontrol menunjukkan bahwa 39,4% subjek tidak menyadari hipertensi mereka, 15,8% menyadari tetapi saat ini tidak menggunakan obat, dan hanya 44,8% menyadari dan sedang menjalani pengobatan.¹ Data tersebut menunjukan ada 44,8% pasien yang menjalani pengobatan tapi hipertensi nya belum juga terkontrol.


Tenaga kesehatan dan juga pasien perlu mengetahui faktor-faktor yang bisa menyebabkan kegagalan pengobatan (medication failure) pada terapi hipertensi. Berikut adalah beberapa faktor-faktor tersebut :

1. Pasien tidak mengikuti jadwal pengobatan yang diresepkan: Untuk mengontrol tekanan darah, sangat penting untuk mengikuti jadwal pengobatan yang diresepkan. Jika seseorang melewatkan dosis obat atau tidak mengambil obat secara teratur, itu dapat mengurangi efektivitas obat dan bahkan memperburuk kondisi hipertensi.

2. Gaya hidup tidak sehat: Faktor gaya hidup, seperti makanan yang tidak sehat, kebiasaan merokok, kurang olahraga, dan stres, dapat memainkan peran besar dalam pengembangan atau pengendalian hipertensi. Hal ini dapat memengaruhi efektivitas pengobatan dan bahkan memperburuk kondisinya.

3. Interaksi obat: Interaksi obat dapat terjadi saat dua atau lebih obat dikonsumsi bersamaan, atau saat obat dikonsumsi bersamaan dengan makanan tertentu. Berikut adalah  interaksi antara obat antihipertensi dengan obat dan makanan lain yang dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan antihipertensi:

a. Obat antihipertensi dengan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) - Misalnya, ketoprofen dapat mengurangi efek antihipertensi obat-obatan seperti ACE inhibitor dan diuretik, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.²

b. Obat antihipertensi dengan obat antibiotik - Eritromisin akan meningkatkan efek amlodipin dengan mempengaruhi enzim CYP3A4. Penggunakan kedua obat ini perlu dilakukan pengawasan.³

c.  Obat antihipertensi dengan alkohol - Alkohol dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah obat antihipertensi dan memicu gejala hipotensi seperti pusing dan kebingungan. Obat golongan ACEI tidak akan bekerja efektif bila digunakan bersamaan dengan konsumsi alkohol.⁴

d. Obat antihipertensi dengan makanan yang tinggi kalium - Makanan yang kaya kalium seperti pisang, kentang, dan jeruk dapat mengurangi efektivitas diuretik yang sering digunakan dalam pengobatan hipertensi.

4. Pengobatan tidak sesuai: Terkadang dokter meresepkan obat yang tidak sesuai dengan kondisi pasien hipertensi. Hal ini dapat mempengaruhi efektivitas pengobatan. Penting untuk melakukan tes darah dan pemeriksaan tekanan darah secara teratur untuk memantau efektivitas pengobatan dan menyesuaikan dosis jika diperlukan.


Efektivitas pengobatan hipertensi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepatuhan dalam jadwal pengobatan, gaya hidup sehat, interaksi obat, dan pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau apoteker tentang faktor-faktor yang mungkin memengaruhi efektivitas pengobatan hipertensi untuk memastikan bahwa kondisi pasien dapat dikelola dengan sebaik-baiknya.

Pustaka :
1. Choudhry NK, Kronish IM, Vongpatanasin W, Ferdinand KC, Pavlik VN, Egan BM, Schoenthaler A, Houston Miller N, Hyman DJ; American Heart Association Council on Hypertension; Council on Cardiovascular and Stroke Nursing; and Council on Clinical Cardiology. Medication Adherence and Blood Pressure Control: A Scientific Statement From the American Heart Association. Hypertension. 2022 Jan;79(1):e1-e14. doi: 10.1161/HYP.0000000000000203. Epub 2021 Oct 7. PMID: 34615363.

2. Bulsara KG, Cassagnol M. Amlodipine. [Updated 2023 Jan 22]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.

3. Fournier JP, Sommet A, Bourrel R, Oustric S, Pathak A, Lapeyre-Mestre M, Montastruc JL. Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) and hypertension treatment intensification: a population-based cohort study. Eur J Clin Pharmacol. 2012 Nov;68(11):1533-40. doi: 10.1007/s00228-012-1283-9. Epub 2012 Apr 15. PMID: 22527348.

4. Peng SJ, Jin YT, Li D, Huang AQ. [Influence of alcohol consumption on effectiveness of antihypertensive in male patients with essential hypertension]. Wei Sheng Yan Jiu. 2005 Nov;34(6):698-700. Chinese. PMID: 16535839.

OBAT TRADISIONAL PENURUN BERAT BADAN

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes., M.Farm.Klin

Obesitas adalah masalah kesehatan global yang terus meningkat. Menurut data WHO, pada tahun 2016, lebih dari 1,9 miliar orang dewasa di seluruh dunia memiliki kelebihan berat badan, dan lebih dari 650 juta orang di antaranya adalah obesitas. Obesitas dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai penyakit, seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker.

Di Indonesia, masalah obesitas juga semakin meningkat. Menurut data Riskesdas 2018, prevalensi obesitas pada orang dewasa di Indonesia meningkat dari 19,4% pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Obesitas juga semakin sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kasus obesitas di Indonesia meliputi perubahan pola makan, gaya hidup yang kurang aktif, dan urbanisasi.

Permasalahan obesitas di Indonesia tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga berdampak pada ekonomi negara. Biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh obesitas sangat tinggi, dan dapat mengurangi produktivitas dan kualitas hidup individu.

Untuk mengatasi masalah obesitas, diperlukan upaya dari berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat, dan industri makanan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gaya hidup sehat, memperbaiki pola makan dan meningkatkan aktivitas fisik, serta mengatur regulasi dan kebijakan terkait makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Indonesia sebagai negeri dengan keragaman hayati yang melimpah memiliki tanaman yang berpotensi mengatasi masalah obesitas. Berikut ini adalah lima tanaman herbal yang dapat membantu menurunkan berat badan:

1. Kunyit
Kunyit mengandung kurkumin, yaitu senyawa anti-inflamasi dan antioksidan yang dapat membantu meningkatkan metabolisme tubuh. Kunyit juga dapat membantu menurunkan kadar gula darah dan mengurangi lemak pada hati.¹

Kunyit dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan atau diminum sebagai teh. Untuk membuat teh kunyit, potong kunyit segar menjadi irisan tipis atau parut, kemudian rebus dalam air selama beberapa menit. Saring dan tambahkan madu atau lemon jika diinginkan.


2. Jahe
Jahe memiliki sifat termogenik, yaitu mampu meningkatkan suhu tubuh dan membakar kalori. Jahe juga dapat membantu mengurangi nafsu makan dan meningkatkan pencernaan.²

Jahe dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan atau diminum sebagai teh. Untuk membuat teh jahe, iris atau parut jahe segar, rebus dalam air selama beberapa menit, saring dan tambahkan madu atau lemon jika diinginkan.


3. Teh Hijau
Teh hijau mengandung katekin, senyawa antioksidan yang dapat membantu meningkatkan metabolisme tubuh dan membakar lemak. Teh hijau juga dapat membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah.³

Teh hijau dapat diseduh dengan air panas seperti teh biasa. Untuk mendapatkan manfaat maksimal, seduh teh hijau selama 2-3 menit dan minum secara teratur.


4. Daun Mint
Daun mint mengandung mentol, yaitu senyawa yang dapat membantu meningkatkan pencernaan dan mengurangi rasa lapar.⁴ Daun mint juga dapat membantu mengurangi kolesterol dan trigliserida dalam darah.

Daun mint dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan atau diminum sebagai teh. Untuk membuat teh mint, rebus daun mint segar dalam air selama beberapa menit, saring dan tambahkan madu atau lemon jika diinginkan.


5. Kayu Manis
Kayu manis mengandung senyawa aktif yang disebut cinnamaldehyde, yang dapat membantu meningkatkan metabolisme tubuh dan membakar lemak. Cinnamon juga dapat membantu mengurangi kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin.⁵

Kayu manis dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam masakan atau diminum sebagai teh. Untuk membuat teh kayu manis, rebus kayu manis dalam air selama beberapa menit, saring dan tambahkan madu atau lemon jika diinginkan.

Perlu ditegaskan ulang bahwa bisa jadi ada kondisi medis penyebab obesitas yang harus ditangani secara profesional. Berkonsultasi dengan tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, ahli gizi sangat dianjurkan agar upaya menurunkan berat badan berlangsung secara aman dan efektif.


Pustaka :
1. Akbari M, Lankarani KB, Tabrizi R, Ghayour-Mobarhan M, Peymani P, Ferns G, Ghaderi A, Asemi Z. The Effects of Curcumin on Weight Loss Among Patients With Metabolic Syndrome and Related Disorders: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Front Pharmacol. 2019 Jun 12;10:649. doi: 10.3389/fphar.2019.00649. PMID: 31249528; PMCID: PMC6582779.

2. Maharlouei N, Tabrizi R, Lankarani KB, Rezaianzadeh A, Akbari M, Kolahdooz F, Rahimi M, Keneshlou F, Asemi Z. The effects of ginger intake on weight loss and metabolic profiles among overweight and obese subjects: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Crit Rev Food Sci Nutr. 2019;59(11):1753-1766. doi: 10.1080/10408398.2018.1427044. Epub 2018 Feb 2. PMID: 29393665.

3. Onakpoya I, Spencer E, Heneghan C, Thompson M. The effect of green tea on blood pressure and lipid profile: a systematic review and meta-analysis of randomized clinical trials. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2014 Aug;24(8):823-36. doi: 10.1016/j.numecd.2014.01.016. Epub 2014 Jan 31. PMID: 24675010.

4. Papathanasopoulos A, Rotondo A, Janssen P, Boesmans W, Farré R, Vanden Berghe P, Tack J. Effect of acute peppermint oil administration on gastric sensorimotor function and nutrient tolerance in health. Neurogastroenterol Motil. 2013 Apr;25(4):e263-71. doi: 10.1111/nmo.12102. Epub 2013 Mar 12. PMID: 23489975.

5. Mousavi SM, Rahmani J, Kord-Varkaneh H, Sheikhi A, Larijani B, Esmaillzadeh A. Cinnamon supplementation positively affects obesity: A systematic review and dose-response meta-analysis of randomized controlled trials. Clin Nutr. 2020 Jan;39(1):123-133. doi: 10.1016/j.clnu.2019.02.017. Epub 2019 Feb 15. PMID: 30799194.

BIJAK MENGGUNAKAN OBAT TRADISIONAL

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes., M.Farm.Klin

Masyarakat Indonesia masih menjadikan obat tradisional sebagai pilihan untuk mengobati berbagai macam keluhan penyakit. Data  Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2018 menunjukkan 75,6% masyarakat menggunakan obat tradisional. Sementara itu, menurut data dari Asosiasi Pengusaha Suplemen Kesehatan dan Produk Kesehatan Indonesia (APSKI) pada tahun 2019, pangsa pasar herbal dari seluruh pasar produk kesehatan mencapai sekitar 35%.

Pasar obat tradisional di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dari data Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan kementrian Kesehatan RI, pada tahun 2006 pasar obat herbal mencapai Rp 5 triliun. Di tahun 2007 dan 2008, pasar obat herbal menjadi Rp.6 triliun dan Rp 7,2 triliun secara berurutan. Pada tahun 2012, pasar obat herbal mencapai Rp 13,2 triliun dengan nilai dalam negeri sebesar Rp12,1 triliun dan ekspor sebesar Rp 1,1 triliun. Pasar obat herbal tersebut meliputi Jamu, obat herbal, minuman herbal, spa dan aroma terapi.¹

Namun, perlu diingat bahwa penggunaan obat tradisional yang tidak tepat dapat menyebabkan keracunan dan efek samping yang serius. Berikut adalah beberapa laporan keracunan dan efek samping akibat salah penggunaan obat tradisional :

1. Ginkgo Biloba
Herbal ini digunakan untuk meningkatkan sirkulasi darah dan memperbaiki fungsi otak. Dosis maksimum ekstrak yang dianjurkan adalah 240 mg/hari. Namun, konsumsi ginkgo biloba dalam jumlah besar dapat menyebabkan keracunan dan efek samping seperti sakit kepala, pusing, dan mual.²


2. Ephedra
Herbal ini digunakan untuk meningkatkan energi, mengurangi nafsu makan, mengatasi asam dan pilek. Dosis maksimum ephedra adalah 10 g. Namun, ephedra dapat menyebabkan keracunan dan efek samping seperti tekanan darah tinggi, serangan jantung, dan stroke.³


3. Kava
Herbal ini digunakan untuk mengurangi kecemasan dan memperbaiki kualitas tidur. Namun, penggunaan kava dalam jangka panjang dapat menyebabkan keracunan dan efek samping seperti kerusakan hati dan gangguan mental.⁴


4. Black Cohosh
Herbal ini digunakan untuk mengatasi gejala menopause seperti hot flashes dan insomnia. Namun, penggunaan black cohosh dalam jangka panjang dapat menyebabkan keracunan dan efek samping seperti kerusakan hati dan gangguan perut.⁵


5. St. John's Wort
Herbal ini digunakan untuk mengatasi depresi dan kecemasan. Namun, penggunaan St. John's Wort dalam kombinasi dengan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan keracunan dan efek samping seperti sakit kepala, mual, dan gangguan perut.⁶


Berikut adalah tips untuk penggunaan herbal secara tepat yang dapat membantu Anda memilih dan menggunakan herbal secara aman dan efektif :

1. Periksa Kelayakan Herbal
Sebelum menggunakan herbal, pastikan untuk memeriksa kelayakannya terlebih dahulu. Pastikan herbal yang digunakan berasal dari sumber yang terpercaya dan telah teruji kelayakannya.

2. Sesuaikan Dosis
Sesuaikan dosis herbal yang digunakan dengan kondisi tubuh Anda. Jangan terlalu banyak atau terlalu sedikit, sehingga dapat memperburuk kondisi kesehatan Anda.

3. Perhatikan Cara Penggunaan
Pastikan untuk membaca instruksi penggunaan herbal dengan teliti. Beberapa herbal harus diminum dengan air, sementara yang lain harus diaplikasikan secara topikal.

4. Konsultasikan dengan Apoteker atau Dokter
Sebelum menggunakan herbal, konsultasikan terlebih dahulu dengan apoteker atau dokter. Mereka dapat membantu Anda memilih herbal yang tepat untuk kondisi kesehatan Anda.

5. Perhatikan Efek Samping
Beberapa herbal dapat menyebabkan efek samping tertentu. Pastikan untuk memperhatikan efek samping yang mungkin terjadi dan jika Anda merasakan gejala yang tidak diinginkan, segera hentikan penggunaannya.

6. Jangan Gunakan Herbal Sebagai Pengganti Obat Resep
Herbal tidak boleh digunakan sebagai pengganti obat resep yang diresepkan oleh dokter. Jika Anda memiliki kondisi kesehatan yang memerlukan pengobatan, pastikan untuk mengikuti arahan dokter.

7. Simpan dengan Benar
Simpan herbal dengan benar, di tempat yang sejuk dan kering. Pastikan untuk menyimpannya jauh dari jangkauan anak-anak.

Dengan mengikuti tips ini, Anda dapat memilih dan menggunakan herbal dengan tepat, sehingga dapat membantu meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan Anda secara alami.

Pustaka :
1.https://farmasi.ui.ac.id/2018/12/perkembangan-bahan-baku-obat-tradisional-di-indonesia-terus-meningkat/

2. Nguyen T, Alzahrani T. Ginkgo Biloba. [Updated 2022 Jul 4]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.

3. Zheng Q, Mu X, Pan S, Luan R, Zhao P. Ephedrae herba: A comprehensive review of its traditional uses, phytochemistry, pharmacology, and toxicology. J Ethnopharmacol. 2023 May 10;307:116153. doi: 10.1016/j.jep.2023.116153. Epub 2023 Jan 11. PMID: 36641108.

4. Fu PP, Xia Q, Guo L, Yu H, Chan PC. Toxicity of kava kava. J Environ Sci Health C Environ Carcinog Ecotoxicol Rev. 2008 Jan-Mar;26(1):89-112. doi: 10.1080/10590500801907407. PMID: 18322868; PMCID: PMC5868963.

5. Wobser RW, Takov V. Black Cohosh. [Updated 2022 Nov 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.

6. Soleymani S, Bahramsoltani R, Rahimi R, Abdollahi M. Clinical risks of St John's Wort (Hypericum perforatum) co-administration. Expert Opin Drug Metab Toxicol. 2017 Oct;13(10):1047-1062. doi: 10.1080/17425255.2017.1378342. Epub 2017 Sep 13. PMID: 28885074.