Thursday, June 8, 2023

Konsep Dasar Evidence Based Medicine dalam Praktik Kefarmasian

Oleh : apt. Ilman Silanas, M.Kes.,M.Farm.Klin


Evidence Based Medicine (EBM) adalah pendekatan dalam pengambilan keputusan medis yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Konsep ini bertujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan klinis, pengalaman klinis, dan preferensi pasien dengan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh melalui penelitian yang berkualitas. EBM mendorong praktisi medis, termasuk apoteker, untuk menggunakan bukti ilmiah yang kuat dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan, pencegahan, dan manajemen penyakit.

Penerapan EBM dalam praktik apoteker memungkinkan apoteker untuk menyediakan layanan farmasi yang berkualitas dan berdasarkan bukti. Apoteker dapat menggunakan penelitian klinis, meta-analisis, panduan praktik klinis, dan literatur ilmiah lainnya untuk menghasilkan keputusan yang tepat. Dengan memiliki pengetahuan tentang EBM, apoteker dapat memastikan bahwa rekomendasi mereka didasarkan pada bukti yang kuat dan memberikan manfaat terbaik bagi pasien. Selain itu, EBM juga memungkinkan apoteker untuk terus mengembangkan dan meningkatkan praktik mereka dengan memperbarui pengetahuan melalui penelitian terbaru dan bukti ilmiah yang terkini. Dengan demikian, pengenalan tentang konsep EBM penting bagi apoteker dalam memberikan pelayanan yang optimal dan berdasarkan bukti ilmiah.

Prinsip Dasar EBM

Prinsip Dasar EBM adalah pendekatan yang sistematis dan terstruktur dalam pengambilan keputusan klinis yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaik yang tersedia. Prinsip-prinsip ini membantu memastikan bahwa praktik klinis didasarkan pada penelitian yang terpercaya dan relevan, serta membantu menghindari keputusan berdasarkan kepercayaan semata atau pengalaman individu yang terbatas. 

Prinsip dasar EBM melibatkan penggunaan bukti ilmiah yang terbaik. Ini berarti mengumpulkan dan mengevaluasi penelitian yang berkualitas tinggi, seperti uji klinis acak terkontrol, meta-analisis, atau ulasan sistematis, untuk mendapatkan bukti yang akurat dan valid. Dengan menggunakan pendekatan ini, praktisi kesehatan termasuk apoteker dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang manfaat, risiko, dan efek samping dari berbagai intervensi dan memastikan bahwa keputusan perawatan didasarkan pada bukti yang solid.

Prinsip dasar EBM juga melibatkan integrasi bukti ilmiah dengan keahlian klinis dan preferensi pasien. Ini berarti bahwa bukti ilmiah harus digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan klinis, tetapi juga harus dipertimbangkan bersama dengan pengetahuan dan pengalaman klinis praktisi, serta nilai-nilai, preferensi, dan harapan pasien. Prinsip ini menekankan pentingnya mengadopsi pendekatan yang terpusat pada pasien, di mana keputusan perawatan dikembangkan bersama dengan pasien untuk mencapai hasil yang optimal.


Secara keseluruhan, prinsip dasar EBM menyediakan kerangka kerja yang sistematis untuk mengintegrasikan bukti ilmiah dengan praktik klinis dan preferensi pasien. Dengan menggunakan prinsip-prinsip ini, apoteker dan praktisi kesehatan lainnya dapat mengambil keputusan yang terinformasi secara lebih baik, meningkatkan kualitas perawatan, dan mengoptimalkan hasil bagi pasien.

Hierarki bukti dalam EBM

Hierarki bukti dalam Evidence-Based Medicine (EBM) adalah suatu sistem yang digunakan untuk menggolongkan jenis bukti ilmiah berdasarkan tingkat kekuatan dan kualitasnya. Hierarki ini membantu praktisi kesehatan, termasuk apoteker, dalam mengevaluasi dan menggunakan bukti yang paling dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan klinis.

Pada puncak hierarki bukti terdapat penelitian berbasis bukti tingkat tinggi yang meliputi meta-analisis, ulasan sistematis (systematic review), dan uji klinis acak terkontrol (randomized control trial). Jenis penelitian ini biasanya dianggap sebagai bukti yang paling kuat karena melibatkan pengumpulan data dari beberapa studi yang telah diuji dan dinilai secara kritis oleh para ahli.


Di bawahnya, terdapat studi observasional, seperti studi kohort dan studi kasus kontrol, yang memberikan bukti yang lebih lemah dibandingkan dengan uji klinis acak terkontrol. Studi observasional ini mempelajari hubungan antara faktor risiko atau intervensi dengan hasil klinis, tetapi memiliki keterbatasan dalam pengendalian variabel dan memungkinkan adanya bias.

Selanjutnya, terdapat bukti berupa opini ahli, laporan kasus, dan pendapat otoritas yang berada di tingkatan hierarki yang lebih rendah. Meskipun memiliki tingkat kekuatan yang lebih rendah, bukti ini masih memiliki nilai informatif dan dapat memberikan panduan dalam situasi di mana bukti tingkat tinggi tidak tersedia.

Penting untuk memahami hierarki bukti dalam EBM dan menggunakan bukti dengan tingkat kekuatan yang sesuai dengan pertanyaan klinis yang dihadapi. Hal ini membantu apoteker dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada bukti yang lebih kuat, meningkatkan keamanan dan efektivitas pengobatan, serta memberikan perawatan yang lebih baik kepada pasien.

Peran apoteker dalam menerapkan EBM

Peran apoteker dalam penerapan Evidence-Based Medicine (EBM) sangat penting dalam memberikan pelayanan farmasi yang berkualitas dan berbasis bukti. Berikut adalah beberapa peran apoteker dalam penerapan EBM:

1. Evaluasi dan interpretasi bukti ilmiah: Apoteker memiliki pengetahuan yang mendalam tentang literatur ilmiah terkait penggunaan obat dan pengelolaan penyakit. Mereka mampu mengevaluasi dan menginterpretasikan bukti ilmiah yang ada untuk membantu dalam pengambilan keputusan klinis yang berbasis bukti.

2. Memberikan rekomendasi berdasarkan bukti: Apoteker dapat memberikan rekomendasi yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini kepada tim perawatan kesehatan, termasuk dokter dan pasien. Mereka dapat menjelaskan manfaat, risiko, dan alternatif pengobatan berdasarkan bukti yang ada untuk membantu pasien dalam membuat keputusan yang informasi.

3. Edukasi pasien: Apoteker memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada pasien tentang penggunaan obat yang tepat, efek samping yang mungkin terjadi, dan interaksi obat. Dengan mengedukasi pasien berdasarkan bukti ilmiah, apoteker membantu pasien memahami manfaat pengobatan dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

4. Kolaborasi dengan tim perawatan kesehatan: Apoteker bekerja sama dengan tim perawatan kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya, untuk mengoptimalkan penggunaan obat. Mereka dapat memberikan masukan berdasarkan bukti ilmiah dalam pengambilan keputusan tentang pilihan obat, dosis yang tepat, dan pemantauan terapi.

5. Melakukan penelitian dan evaluasi obat: Apoteker juga terlibat dalam penelitian dan evaluasi obat yang melibatkan pengumpulan dan analisis data untuk mendapatkan bukti ilmiah yang lebih kuat. Mereka dapat melakukan studi farmakoepidemiologi, farmakoekonomi, dan penilaian obat untuk menginformasikan keputusan klinis dan kebijakan farmasi.

Dengan peran aktif dalam penerapan EBM, apoteker dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan farmasi, meningkatkan penggunaan obat yang rasional, dan memberikan perawatan yang lebih efektif dan aman kepada pasien.

Pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah

Proses pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah melibatkan langkah-langkah berikut:

1. Identifikasi pertanyaan penelitian: Langkah pertama adalah mengidentifikasi pertanyaan penelitian yang spesifik dan relevan dalam konteks yang dituju. Pertanyaan ini harus jelas dan terkait dengan topik yang ingin diteliti.

2. Pencarian literatur: Setelah pertanyaan penelitian ditentukan, langkah berikutnya adalah melakukan pencarian literatur untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang relevan. Pencarian dapat dilakukan melalui basis data jurnal ilmiah, repositori, atau sumber informasi lainnya.

3. Seleksi dan penilaian artikel: Setelah literatur dikumpulkan, artikel-artikel yang relevan harus diseleksi dan dinilai kualitasnya. Penilaian dilakukan untuk mengevaluasi validitas dan kehandalan bukti ilmiah yang terdapat dalam artikel tersebut. Beberapa faktor yang dinilai meliputi desain penelitian, metodologi, ukuran sampel, hasil, dan potensi bias.

4. Ekstraksi data: Setelah penilaian artikel dilakukan, data relevan yang terkandung dalam artikel dipilih dan diekstraksi. Ini melibatkan pengekstrakan informasi seperti populasi penelitian, metode, hasil, dan kesimpulan yang diperoleh.

5. Analisis dan sintesis: Data yang diekstraksi kemudian dianalisis dan disintesis untuk menggambarkan temuan utama dari studi yang telah dinilai. Proses ini melibatkan pembandingan hasil studi yang berbeda untuk melihat konsistensi dan perbedaan antara penelitian yang dilakukan.

6. Penulisan laporan dan kesimpulan: Hasil analisis dan sintesis bukti ilmiah kemudian digunakan untuk menyusun laporan yang menyajikan temuan dan kesimpulan dari penelitian. Laporan ini dapat berupa artikel ilmiah, ulasan sistematis, atau meta-analisis, tergantung pada tujuan penelitian.


Proses pengumpulan dan penilaian bukti ilmiah ini memastikan bahwa bukti yang digunakan dalam pengambilan keputusan klinis didasarkan pada metodologi yang kuat dan informasi yang dapat dipercaya. Hal ini membantu memastikan penggunaan terbaik dari bukti ilmiah yang ada untuk meningkatkan perawatan pasien dan pengambilan keputusan yang berbasis bukti.

Integrasi bukti ilmiah dan konteks masalah

Integrasi bukti ilmiah dengan konteks adalah langkah penting dalam pengambilan keputusan berdasarkan bukti ilmiah. Ini melibatkan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual yang dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah dalam situasi yang spesifik. Berikut adalah beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan:

1. Karakteristik pasien: Setiap pasien memiliki karakteristik yang unik, termasuk usia, jenis kelamin, riwayat medis, kondisi kesehatan, dan preferensi pribadi. Saat menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor ini. Misalnya, jika sebuah penelitian hanya melibatkan pasien dewasa, tetapi pasien Anda adalah seorang anak, maka perlu dipertimbangkan apakah temuan tersebut masih berlaku dalam konteks anak.

2. Kebijakan dan pedoman organisasi: Setiap organisasi kesehatan mungkin memiliki kebijakan dan pedoman khusus yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Ini bisa termasuk panduan pengobatan internal, protokol praktik, atau kebijakan penggunaan obat tertentu. Penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan kebijakan dan pedoman organisasi yang ada.

3. Sumber daya yang tersedia: Ketersediaan sumber daya seperti obat, peralatan medis, atau tenaga medis juga dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah. Misalnya, jika sebuah penelitian menunjukkan efektivitas suatu obat yang mahal dan sulit diakses, maka penerapannya dalam konteks dengan sumber daya terbatas dapat menjadi tantangan. Pertimbangkan faktor-faktor ini dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks.

4. Preferensi pasien: Preferensi dan nilai-nilai pasien juga harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan berdasarkan bukti ilmiah. Apakah pasien memiliki preferensi khusus terkait pengobatan atau intervensi tertentu? Apakah ada faktor-faktor psikososial yang perlu dipertimbangkan? Menghormati preferensi pasien dan mempertimbangkan aspek psikososial membantu memastikan bahwa pengambilan keputusan sejalan dengan kebutuhan dan nilai-nilai pasien.

5. Konteks sosial dan budaya: Konteks sosial dan budaya juga berperan dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks. Nilai-nilai budaya dan norma sosial dapat mempengaruhi penerapan bukti ilmiah. Misalnya, ada kepercayaan tertentu terkait pengobatan tradisional atau metode pengobatan alternatif dalam suatu budaya tertentu. Memahami dan menghormati aspek budaya dan sosial membantu memastikan penerapan bukti ilmiah yang relevan dan dapat diterima secara sosial.

Dalam menghubungkan bukti ilmiah dengan konteks, penting untuk memiliki pemahaman yang komprehensif tentang situasi yang spesifik dan mempertimbangkan semua aspek yang relevan. 

Pemberian informasi dan edukasi kepada pasien

Prinsip EBM dapat diterapkan dalam menyusun konten informasi yang dapat diberikan kepada pasien. Penyusun informasi berbasis EBM yang mudah dipahami oleh pasien yang awam, dapat mengikuti langkah-langkah berikut :

1. Gunakan bahasa yang jelas dan sederhana: Hindari penggunaan istilah medis atau teknis yang rumit. Gunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami oleh pasien. Jelaskan konsep-konsep penting dengan kata-kata yang mudah dimengerti.

2. Fokus pada poin-poin kunci: Identifikasi poin-poin utama yang ingin Anda sampaikan kepada pasien. Jangan terlalu membebani dengan detail yang terlalu teknis atau kompleks. Sederhanakan informasi menjadi poin-poin penting yang relevan bagi pasien.

3. Gunakan contoh konkret: Gunakan contoh konkret atau cerita pendek untuk mengilustrasikan informasi yang ingin disampaikan. Contoh-contoh ini dapat membantu pasien memahami konsep dengan lebih baik dan merasa lebih terhubung dengan informasi yang diberikan.

4. Visualisasi informasi: Gunakan grafik, diagram, atau ilustrasi visual lainnya untuk memvisualisasikan informasi secara jelas. Visualisasi dapat membantu pasien dalam memahami informasi secara lebih intuitif dan mengingatnya dengan lebih baik.

5. Sediakan sumber referensi: Jika memungkinkan, sertakan sumber referensi atau rujukan yang dapat diakses oleh pasien. Ini dapat memberikan kepercayaan kepada pasien bahwa informasi yang disampaikan didasarkan pada bukti ilmiah yang valid.

6. Dengarkan pertanyaan dan tanggapan pasien: Berikan kesempatan kepada pasien untuk bertanya atau memberikan tanggapan terkait informasi yang disampaikan. Dengarkan dengan saksama dan jawab dengan jelas dan akurat. Pastikan pasien merasa didengarkan dan dipahami.

7. Gunakan media komunikasi yang tepat: Sesuaikan cara penyampaian informasi dengan preferensi pasien. Beberapa pasien mungkin lebih suka mendapatkan informasi secara tertulis, sementara yang lain lebih memilih penjelasan lisan atau menggunakan media visual.

Dalam menyusun informasi berbasis EBM yang mudah dipahami oleh pasien yang awam, penting untuk mengutamakan kejelasan, kesederhanaan, dan relevansi. Memiliki kesabaran dan empati dalam menjelaskan informasi serta memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi akan membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik dan memperkuat hubungan pasien-apoteker.

Tantangan dalam penerapan EBM bagi apoteker

Tantangan penerapan EBM dalam praktik kefarmasian dapat meliputi hal-hal berikut:

1. Keterbatasan akses dan pemahaman terhadap bukti ilmiah: Tidak semua apoteker memiliki akses mudah ke sumber-sumber informasi ilmiah yang terkini. Selain itu, memahami dan mengevaluasi bukti ilmiah juga membutuhkan keterampilan khusus. Tantangan ini dapat menghambat apoteker dalam mengambil keputusan berdasarkan bukti ilmiah yang terpercaya.

2. Peningkatan beban kerja: Apoteker sering memiliki beban kerja yang tinggi, termasuk tugas-tugas administratif dan klinis. Menyisihkan waktu untuk mencari, mengevaluasi, dan menerapkan bukti ilmiah dapat menjadi tantangan di tengah jadwal yang padat. Hal ini dapat menghambat penerapan EBM secara konsisten dan menyeluruh.

3. Kompleksitas informasi: Informasi ilmiah seringkali kompleks dan sulit dipahami oleh pasien atau masyarakat umum. Mentransfer informasi yang kompleks menjadi bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pasien merupakan tantangan tersendiri.

4. Kepercayaan dan resistensi terhadap perubahan: Tidak semua pihak dalam praktik kefarmasian menerima dengan mudah perubahan yang didasarkan pada bukti ilmiah. Beberapa apoteker mungkin masih mengandalkan pengetahuan dan pengalaman lama, sementara lainnya mungkin menghadapi ketidakpercayaan atau resistensi dari rekan sejawat atau pasien terhadap perubahan dalam praktik.

5. Keterbatasan sumber daya: Implementasi EBM yang efektif membutuhkan sumber daya yang memadai, termasuk akses ke sumber informasi ilmiah, waktu, dana, dan infrastruktur yang memadai. Tantangan ini dapat menjadi kendala terutama bagi praktik kefarmasian di lingkungan dengan sumber daya terbatas.

Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi apoteker untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam EBM, mengembangkan jaringan dengan rekan sejawat dan ahli EBM, serta mengadvokasi pentingnya penerapan EBM dalam praktik kefarmasian. Dukungan dari lembaga dan kebijakan yang memfasilitasi penggunaan dan penerapan EBM juga dapat membantu mengatasi tantangan ini.

Manfaat penerapan EBM bagi apoteker

Penerapan konsep EBM memberikan manfaat yang signifikan bagi apoteker dalam praktek mereka. Pertama, dengan menggunakan bukti ilmiah yang kuat, apoteker dapat memberikan perawatan farmasi yang lebih efektif dan aman kepada pasien. Mereka dapat menilai efektivitas, keamanan, dan efisiensi dari berbagai obat, intervensi farmasi, atau tindakan yang direkomendasikan berdasarkan bukti yang tersedia. Hal ini membantu menghindari risiko penggunaan obat yang tidak tepat atau tidak efektif, serta meminimalkan efek samping yang mungkin terjadi.

Selain itu, penerapan EBM juga memungkinkan apoteker untuk berpartisipasi dalam proses pengembangan pedoman praktik klinis dan standar perawatan farmasi. Dengan mengacu pada bukti ilmiah yang terkini, apoteker dapat memberikan masukan berharga dalam mengembangkan pedoman yang relevan dan up-to-date. Ini membantu meningkatkan kualitas perawatan farmasi secara keseluruhan dan memastikan bahwa keputusan terkait pengobatan dan manajemen penyakit didasarkan pada bukti yang valid.

Secara keseluruhan, penerapan EBM memberikan dasar yang kuat bagi apoteker dalam mengambil keputusan terkait perawatan farmasi. Dengan menggunakan pendekatan yang berbasis bukti, apoteker dapat meningkatkan keputusan klinis mereka, mengoptimalkan perawatan pasien, dan memastikan keselamatan dan efektivitas penggunaan obat.

Rekomendasi untuk meningkatkan penerapan EBM di bidang farmasi

Untuk meningkatkan penerapan konsep EBM dalam praktik kefarmasian, berikut adalah rekomendasi yang penting untuk diberikan kepada pemegang kebijakan, lembaga pendidikan, organisasi profesi, dan individu apoteker:

1. Pemegang Kebijakan:

   a. Mendorong pengembangan kebijakan dan pedoman yang mendorong dan memfasilitasi penerapan EBM dalam praktik kefarmasian.

   b. Mendukung pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM bagi apoteker melalui program-program pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan atau lembaga terkait.

   c. Mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mendukung akses apoteker terhadap informasi dan sumber daya yang relevan dengan EBM, termasuk akses ke jurnal ilmiah dan database.

2. Lembaga Pendidikan:

   a. Mengintegrasikan pendidikan EBM ke dalam kurikulum pendidikan apoteker, termasuk pelatihan keterampilan penelusuran dan penilaian bukti ilmiah.

   b. Menyediakan sumber daya dan akses ke jurnal dan database ilmiah kepada mahasiswa apoteker.

   c. Mendorong mahasiswa apoteker untuk terlibat dalam penelitian dan pengembangan dalam bidang EBM.

3. Organisasi Profesi:

   a. Mendukung program-program pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM bagi apoteker yang sedang bekerja melalui seminar, konferensi, atau workshop terkait EBM.

   b. Membangun jaringan kolaborasi dengan lembaga pendidikan, organisasi lain, dan ahli EBM untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait EBM.

   c. Memberikan dukungan dan advokasi kepada anggota untuk menerapkan EBM dalam praktik kefarmasian mereka.

4. Individu Apoteker:

   a. Mengikuti program pelatihan dan pengembangan keterampilan EBM secara aktif.

   b. Membangun keterampilan penelusuran dan penilaian bukti ilmiah, serta kemampuan dalam menerapkan bukti ilmiah dalam pengambilan keputusan klinis.

   c. Terus mengikuti perkembangan terbaru dalam bidang EBM melalui literatur ilmiah, jurnal, dan sumber daya online yang terpercaya.

   d. Terlibat dalam kegiatan penelitian dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan sesama apoteker.

Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini, diharapkan penerapan konsep EBM dalam praktik kefarmasian dapat meningkat, sehingga mendorong pengambilan keputusan yang lebih informasi dan berdasarkan bukti ilmiah, serta meningkatkan kualitas pelayanan farmasi secara keseluruhan.


Referensi : 

Fletcher, R. H., & Fletcher, S. W. (2019). Clinical Epidemiology: The Essentials (5th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Greenhalgh, T. (2019). How to Read a Paper: The Basics of Evidence-Based Medicine (6th ed.). Chichester: John Wiley & Sons.

Guyatt, G., Rennie, D., Meade, M. O., & Cook, D. J. (2015). Users' Guides to the Medical Literature: A Manual for Evidence-Based Clinical Practice (3rd ed.). New York: McGraw-Hill Education.

Mayer, D., Meller, W. F., & Simel, D. L. (2017). Essential Evidence-Based Medicine (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Straus, S. E., Glasziou, P., Richardson, W. S., & Haynes, R. B. (2018). Evidence-Based Medicine: How to Practice and Teach EBM (4th ed.). Edinburgh: Elsevier.



No comments:

Post a Comment