Thursday, July 7, 2016

WASPADA : RESISTENSI ANTIBIOTIK

Oleh : Ilman Silanas, Apt.,M.Kes (Apoteker RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung)

Secara umum penyakit yang diderita manusia hanya digolongkan menjadi dua, yaitu penyakit infeksi dan penyakit non-infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh kita dan menyebabkan kondisi patologis disebabkan proses metabolisme yang mereka lakukan. Mikroorganisme yang dimaksud bisa berupa bakteri, protozoa, jamur, dan virus.

Bakteri merupakan mikroorganisme uniseluler tanpa inti sel. Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui banyak jalur, yang pasti saat bakteri masuk dalam jaringan tubuh, dan menemukan tempat ideal untuk melakukan metabolisme, maka bagian tubuh itulah yang akan menjadi site of infection. Bakteri merupakan mikroorganisme dengan kemampuan adaptasi yang tinggi. Susunan DNA yang mereka miliki memungkinkan untuk mereka merubah kode genetik untuk menghasilkan senyawa kimia baru untuk melindungi diri mereka sendiri dari ancaman. Terlebih tidak adanya selubung inti sel yang dapat memudahkan rantai gen mereka disalin dan dibagikan pada bakteri yang lain.


Selama berabad-abad manusia sudah menghadapi penyakit akibat bakteri. Pengembangan pengobatan telah dilakukan. Pada tahun 1928, Alexander Fleming menemukan antibiotik pertama yang disebut Penisilin. Dua tahun kemudian, 1930, Penisilin mulai diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi. Sejak saat itu jutaan orang terselamatkan dari kematian akibat infeksi. Hal ini menyebabkan pada rentang tahun 1944-1972 usia harapan hidup meningkat 8 tahun.

Kasus resistensi mulai terjadi pada tahun 1950, saat itu ditemukan bakteri yang tahan ada Pensilin. Para ahli terus mencoba mencari jalan untuk mengatasi problem resistensi, hingga akhirnya berbagai macam varian antibiotik dapat kita temukan saat ini.

Pada tahun 1946 dilaporkan hasil penelitian yang pertama tentang pengaruh positif antibiotik terhadap pertumbuhan unggas[1], pada awalnya dipercaya bahwa penggunaan antibiotik berhubungan dengan kerja vitamin B12. Beberapa antibiotik yang sering digunakan sebagai perangsang pertumbuhan pada ternak adalah klortetrasiklin, ertiromisin, linkomisin, Novobiosin, Oksitetrasiklin, dan penisilin. Antibiotik tersebut telah terbukti dapat meningkatkan bobot badan, memperbaiki konversi pakan, menurunkan mortalitas, dan menurunkan koloni patogen dalam usus sehingga nutrisi lebih tersedia untuk ayam.[2]

Penelitian Bates at al (1993)[3] menunjukan bahwa ternak-ternak yang terdapat di peternakan Inggris banyak terinfeksi oleh Enterococci yang resisten terhadap Vankomisin. Bebarapa isolat yang diambil dari peternakan tersebut menunjukan sekitar 62 isolat Enterecocci yang resisten berasal dari pekerja, 22 isolat dari ternak, dan 5 isolat yang berasal dari daging mentah. Selanjutnya Roy et al, (2002) melaporkan bahwa sekitar 91- 92 sampel Salmonella yang diisolat dari produk unggas, unggas hidup dan lingkungan perunggasan telah resisten terhadap antibiotik erythromycin, lincomycin, dan penicillin. [4]

Akumulasi penggunaan antibiotik tidak rasional pada manusia dan ternak menyebabkan resistensi pada skala global yang cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2013 WHO mempublikasikan data bahwa terdapat 480.000 kasus baru MDR-TB (Multi Drugs  Resistant- Tuberculosis). Kasus XDR-TB (Extensively Drugs Resistant –Tuberculosis) telah teridentifikasi di 100 negara. Proporsi tertinggi resistensi antibiotik pada kasus yang sering terjadi seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, dan blood stream infection pada seluruh wilayah di dunia. [5] Mortalitas akibat resistensi antibiotika pada tahun 2013 menembus angka 700.000 kematian per tahun. Bila hal ini tidak diatas maka pada tahun 2050 diprediksi terjadi 10.000.000 kematian per tahun.


Berikut adalah info grafis yang menunjukkan gambaran MDR TB di berbagai negara


Berikut adalah kerugian materil akibat resistensi antibiotik



STRATEGI PENCEGAHAN RESISTENSI

Secara umum strategi dibagi menjadi dua yaitu pencegahan terjadinya Selective Pressure dan Pencegahan transmisi bakteri. WHO telah merinci tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain[6] :

Masyarakat umum dapat berperan dalam mengatasi resistensi dengan cara :
  1. Mencuci tangan dan mencegah kontak langsung dengan orang sakit untuk mencegah transmisi infeksi bakteri
  2. Vaksinasi dan menjaga agar tetap vaksinasi tetap up date
  3. Menggunakan antibiotik berdasarkan resep dokter
  4. Menyelesaikan terapi secara tuntas, walau pun kondisi sudah dirasa membaik
  5. Tidak berbagi antibotik dengan orang lain atau menggunakan dengan resep yang sudah lalu.

Tenaga kesehatan dan Apoteker dapat mengatasi resistensi dengan :
  1. Meningkatkan upaya pencegahan dan pengontrolan infeksi pada rumah sakit dan klinik
  2. Hanya meresepkan dan menyerahkan antibiotik bila benar-benar diperlukan
  3. Meresepkan dan menyerahkan antibiotik dengan tepat untuk mengatasi penyakit

Pembuat kebijakan dapat berperan dengan cara :
  1. Meningkatkan monitoring pada wilayah yang dapat menyebabkan resistensi
  2. Penguatan program pencegahan dan pengontrolan infeksi
  3. Membuat aturan dan promosi untuk pengobatan secara tepat
  4. Menyediakan informasi  yang dapat diakses yang berisi akibat dari resistensi antibiotik dan bagaimana masyarakat dan tenaga kesehatan profesional menjalankan peran nya
  5. Memberi penghargaan pada setiap inovasi dan pengembangan tata laksana dan peralatan

Kolaborasi Pembuat Kebijakan, Peneliti dan Industri dalam mengatasi resistensi dengan cara  melakukan pembinaan dalam upaya inovasi, penelitian dan pengembangan vaksin, diagnosa, terapi infeksi dan peralatan lainnya.


[1] Moore, P. R., A. Evenson, T. D. Luckey, E. McCoy, E. A. Elvehjem, and E. B. Hart. 1946. Use of sulphasuccidine, streptothricin and streptomycin in nutrition studies with the chick. J.Biol. Chem. 165:437–441.
[2] Sun Y, Scrugg DW, Peng Y, Johnson JR, Shukla AJ, 2004. Issues and challenges in developing long-acting veterinary antibiotic formulation. Adv Drug Deliv Rev. 2004 Jun 2004;56(10):1481-96
[3] Bates, J., J. Z. Jordens, and J. B. Selkon. 1993. Evidence for ananimal origin of vancomycin resistant enterococci. Lancet 342:490–491.
[4] Roy P, Dhillon AS, Lauerman LH, Schaberg DM, Bandli D, Johnson S. Results of Salmonella isolation from poultry products, poultry, poultry environment, and other characteristics. Avian Diseases 2002; 46 (1):17-24.
[5] http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/
[6] ibid

No comments:

Post a Comment