Tuesday, November 22, 2011

Batasi Asupan Sukrosa Anak

www.seputar-indonesia.com. Anda mesti mewaspadai asupan gula atau disebut juga dengan sukrosa yang berlebihan pada makanan anak. Selain dapat menyebabkan kegemukan, sukrosa juga bisa menyebabkan anak kekurangan gizi.

Sukrosa termasuk ke dalam jenis gula alamiah yang terdapat dalam makanan hasil alam tanpa proses pengolahan buatan. Jenis gula ini dikenal juga dengan gula pasir,gula meja, gula merah, dan lainnya. Selain sukrosa,jenis gula alamiah yaitu fruktosa dan laktosa. Meskipun zat gizi ini berfungsi menghasilkan sumber energi, jika dikonsumsi secara berlebihan akan mengganggu keseimbangan energi, termasuk pada anak-anak.

Akibatnya, energi yang dihasilkan akan melebihi kebutuhan sesuai usianya dan mengendap menjadi lemak.Tidak heran,anak akan menghadapi risiko obesitas atau kegemukan. Diketahui,obesitas pada anak mengalami peningkatan pesat seperti dipaparkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di mana pada 1990 jumlah anak yang mengalami obesitas terdapat 26,9 juta anak dan meningkat menjadi 42,8 juta pada 2010.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 jumlah anak yang mengalami obesitas sebanyak 12% pada kelompok usia 0–5 tahun,10% pada kelompok anak laki-laki umur 6–14 tahun, 6% pada anak perempuan 6–14 tahun dan 19% pada anak berusia diatas 15 tahun.Ditengarai,penambahan sukrosa pada susu anak menjadi salah satu biang keladinya.

“Penambahan gula saat membuat susu anak tidak dianjurkan. Selain itu,jangan mengenalkan makanan terlalu manis pada anak berusia di bawah dua tahun,” kata dr Ahmad Suryawan SpA (K), Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr Soetomo,Fakultas Kedokteran,Universitas Airlangga (Unair) Surabaya di Jakarta, Rabu (9/11).

Rekomendasi dan regulasi pediatri terbaru di dunia, lanjut dia, banyak yang tidak mengizinkan penambahan sukrosa ke dalam susu formula (sufor) bayi. Kalaupun boleh, hanya diperkenankan pada kondisi-kondisi tertentu. Seperti pada kasus formula protein hidrolisat parsial,penambahan sukrosa diperbolehkan dalam jumlah tertentu.

Bagi ibu yang oleh petugas kesehatan dinyatakan mengalami indikasi medis sehingga tidak dapat memberikan air susu ibu (ASI) atau harus mencampurnya dengan sufor, maka perlu memperhatikan kandungan dari sufor tersebut. “Penting diketahui orang tua untuk menghindari sukrosa selama enam bulan pertama kehidupan anak,” kata Ahmad.

Sumber karbohidrat pada anak, lanjut dia,telah didapatkan dari air susu ibu (ASI),terutama pada enam bulan pertama kehidupannya dan sangat diharapkan dapat diberikan hingga anak berusia dua tahun. Komposisi di dalam ASI tidak mengandung sukrosa, tetapi laktosa atau yang dikenal sebagai gula susu. “Laktosa tidak hanya menyediakan 40% energi, juga mendukung pertumbuhan flora usus yang sehat dan meningkatkan imunitas bayi melawan bakteri patogen,” tandas Ahmad.

Dia mengemukakan, asupan sukrosa dan kesukaan pada rasa manis tidak hanya meningkatkan risiko obesitas, asupan makanan yang mengandung gula total yang tinggi juga akan memengaruhi kecukupan asupan mikronutrien. “Bukti yang berkembang memperlihatkan bahwa makanan yang ditambahkan dan tinggi kandungan gula totalnya,telah terbukti berhubungan nyata dengan asupan mikronutrien yang lebih rendah dan mungkin saja akan memengaruhi pertumbuhan anak kelak,” kata Ahmad.

Dalam sebuah penelitian di Finlandia, lanjut Ahmad, terbukti anak-anak yang asupan sukrosanya rendah memiliki kualitas pertumbuhan dan asupan nutrisi yang lebih baik dalam jangka panjang. “Selain itu, anak yang sukrosanya rendah memiliki peningkatan tinggi badan 1,5 cm lebih panjang dibanding anak yang sering mengasup sukrosa,”katanya.

Sementara itu,Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Inge Permadhi MS SpGK mengatakan, sukrosa yang dikenalkan sejak awal pada bayi akan memengaruhi preferensi makanan. Hal tersebut dapat menyebabkan risiko gangguan kesehatan,di antaranya menyebabkan anak kekurangan gizi.

Menurut Inge, hal ini terjadi karena gizi makro dan mikro lainnya akan tergeser. “Jika pola makan anak didominasi karbohidrat otomatis asupan gizi penting lainnya, seperti lemak atau protein akan berkurang,”paparnya. Selain risiko jangka panjang seperti peningkatan risiko obesitas dan kekurangan gizi, juga berdampak jangka pendek seperti menderita karies gigi.

Temuan ini diperkuat oleh jurnal yang dipublikasi Institute of Medicine pada 2005 dan The American Academy of Pediatric Dentistry pada 2008. Karies dapat dicegah dengan menghindari pemberian sukrosa pada makanan bayi,termasuk pada sufor bayi dan menjaga kebersihan gigi serta mulut setiap kali anak usai makan dan minum susu.

Studi oleh Manella pada 2004, kata Inge, menunjukkan bahwa ada periode sensitif pada masa bayi dan anak di mana suka dan ketidaksukaan yang terbentuk pada masa tersebut akan memengaruhi pola makan saat dewasa.

Hal ini menjadi pertimbangan penting pada penanganan dan pencegahan kelebihan berat badan yang meningkat secara dramatis di masa kanak-kanak dan remaja di banyak negara. ● rendra hanggara

No comments:

Post a Comment