Pages

Monday, November 2, 2015

FORMAT BARU DOKUMENTASI ASUHAN KEFARMASIAN METODE FARM (FINDING, ASSESMENT, RESOLUTION, AND MONITORING)



Hasil gambar untuk pharmaceutical care
Oleh : Ilman Silanas, Apt.,M.Kes
(Apoteker RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung)

FARM merupakan metode pendokumentasian asuhan kefarmasian dari sebuah proses berurutan yang dimulai finding (temuan), assessment (penilaian temuan), resolution (penyelesaian) dan monitoring (pemantauan). Pendokumentasian ini berfokus pada pengelolaan manfaat dan risiko penggunaan obat terhadap pasien.  FARM dilakukan bila dokter telah membuat order kepada Farmasi terkait obat yang akan diberikan. Bila dokter belum memulai order maka tidak ada kewajiban apoteker untuk melakukan asuhan kefarmasian.

Bagaimana pendokumentasian FARM ini dibuat ?

Pertama, langkah awal dalam melakukan pendokumentasian FARM adalah membuat kelompok masalah terkait obat DRPs. Setiap masalah FARM harus diselesaikan secara terpisah dan membuat prioritas masing-masing. Berikut tipe-tipe masalah terkait obat :


1.    Indikasi yang tidak diobati
2.    Pemberian obat tanpa indikasi
3.    Obat tidak sesuai
4.    Dosis kurang
5.    Dosis berlebih
6.    Reaksi tidak diinginkan
7.    Interaksi obat
8.    Ketidakpatuhan (menyebabkan gagal minum obat)

Kedelapan kelompok permasalahan terkait obat tersebut perlu diidentifikasi apakah terjadi pada pasien yang sedang menjalani terapi dan berada dibawah supervisi Apoteker. Pengelompokan permasalahan terkait obat memiliki beberapa manfaat antara lain :

  • Menjamin bahwa apoteker telah mempertimbangkan semua kemungkinan masalah terkait obat
  •  Membantu analisis data secara optimal
  •  Memudahkan menemukan data kembali

Kedua, identifikasi masalah harus disertai dengan dokumentasi temuan (finding) yang relevan. Pada tahap ini Apoteker akan menemukan masalah yang sudah terjadi atau yang berpotensi terjadi di kemudian hari. Langkah kedua ini memerlukan data terkait pasien, baik data demografi ataupun data klinis pasien. Kondisi subjektif dan objektif pasien perlu diketahui untuk selanjutnya dapat dibuat ringkasan data penting setelah dilakukan eliminasi data-data yang dianggap tidak diperlukan. Kemampuan menentukan data yang berpengaruh pada kondisi pasien menjadi keahlian yang harus dimiliki. Pada tahap ini belum ada pengelompokan masalah yang menjurus pada DRPs, tahap ini hanya menentukan data mentah kondisi pasien yang akan diolah pada tahap selanjutnya.

Ketiga, Penilaian masalah pada FARM adalah proses evaluasi yang dilakukan apoteker pada situasi yang ada saat itu. Pada bagian ini apoteker dituntut berfikir secara analisis untuk mencapai kesimpulan apakah ada atau tidak ada masalah terkait obat dan apakah intervensi apoteker diperlukan ataukah tidak. Secara sistematis tahap Penilaian (Assessment) adalah melakukan :
  • Identifikasi keberadaan dan pengelompokan masalah DRPs 
  • Identifikasi potensi masalah yang dapat terjadi 
  • Menilai tingkat kegawatan masalah terkait obat (minor, mayor, kritis)

Pada kedua aktivitas utama tersebut perlu dilakukan kolaborasi antara apoteker, pasien, dokter, dan perawat, karena integrasi antar profesional mutlak diperlukan agar memudahkan penentuan prioritas pengobatan. Ujung dari tahap ini adalah diketahui prioritas terapi apa yang pasien perlukan.

Keempat, pada prinsipnya semua DRPs harus diselesaikan tidak boleh ada yang diabaikan, hanya saja prioritas mutlak perlu ditetapkan. Dokumentasi Resolusi ini memuat Apoteker, berdasarkan tingkat masalah, dalam memberikan masukan pada dokter, perawat dan ahli gizi atau pula dapat melakukan intervensi langsung pada pasien. Apoteker memberikan saran secara detail disertai alasan. Bila memilihkan terapi atau pengganti terapi maka perlu disampaikan jenis obat, dosis, rute pemberian dan kombinasi obat yang memungkinkan serta kewaspadaan terkait interaksi makanan dan obat. Apoteker dapat melakukan intervensi langsung pada pasien dengan cara memberikan konseling pada pasien dan melakukan pengontrolan pada biaya pengobatan pasien bila ada kebijakan terkait pengontrolan biaya oleh apoteker pada unit kerja tertentu. Orientasi pada tahap keempat adalah menyelesaikan DRPs yang terjadi dan mencegah terjadinya DRP yang berpotensi terjadi serta penentuan end point dari terapi.

Kelima, Monitoring (pemantauan) dilakukan sebagai upaya pemenuhan prinsip bahwa pasien tidak boleh diabaikan setelah suatu tindakan dilakukan. Proses pemantauan bisa meliputi wawancara dengan pasien, mengumpulkan data laboratorium, dan melakukan pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk mengetahui efek dari resolusi yang dilakukan untuk menjamin bahwa resolusi tersebut memberikan manfaat yang optimal bagi pasien. Parameter yang dapat dipantau pada tahap ini antara lain :
  • Perbaikan atau hilangnya tanda-tanda gejala dan abnormalitas hasil laboratorium 
  • Keberadaan efek samping dari terapi yang diberikan (apakah muncul dan berhasil diatasi atau dicegah) 
  • Capaian end point (dapat dilihat dari dimensi derajat perbaikan pasien, waktu pencapaian, dan biaya yang dikeluarkan)

Bila pada tahap kelima kembali ditemukan masalah terkait obat karena kondisi pasien yang berubah atau adanya penyulit lain (seperti pasien gagal menerima obat karena persediaan kosong) maka perlu dilakukan siklus FARM kedua hingga kondisi pasien sesuai dengan yang diharapkan.

Bagaimana FARM dilaksanakan bila ditinjau dari alur pelayanan pasien ?

Pertama, pasien datang ke Rumah Sakit, petugas yang menghadapi adalah dokter atau perawat.

Kedua, dokter menentukan diagnosa awal dan terapi farmakologis yang diberikan. Apoteker mulai melakukan upaya menemukan masalah (pre Finding) hingga menemukan (Finding) DRPs. DRPs tahap kedua ini ada yang terjadi dan berpotensi terjadi. Untuk DRPs yang terjadi adalah  :
  • Obat tanpa indikasi
  • Indikasi yang tidak diobati
  • Obat tidak sesuai
  • Dosis kurang
  • Dosis lebih
  • Ketidaktersediaan obat
  • Interaksi obat

Adapun bila ketujuh DRPs diatas tidak ditemukan maka potensi efek samping dan ketidakpatuhan minum obat perlu menjadi catatan untuk dilakukan penilaian.

Ketiga, Apoteker melakukan penilaian temuan DRPs untuk ditetapkan tingkatan dan prioritas

Keempat, Apoteker mengajukan resolusi pada dokter, perawat dan pada diri Apoteker sendiri terkait intervensi yang dapat dilakukan. Apakah terapi tetap dilanjutkan atau ada perubahan terapi atau penyesuaian lain.

Kelima, Apoteker melakukan pemantauan (monitoring) terkait kondisi pasien dan menarik kesimpulan atas efikasi resolusi.

Keenam, bila efikasi rendah dan pasien tidak merasakan manfaat terapi makan dilakukan upaya Finding masalah. Begitu selanjutnya.

Bagaimana bentuk formulir pencatatan FARM ?

Formulir dapat disusun berdasarkan panduan pertanyaan berikut ini .
Identitas Pasien ?
Apa Diagnosa?
Apa saja Obat yang diorder (nama, kekuatan, rute, cara pemakaian, jumlah) ?
Finding
1.    Apakah ada indikasi yang tidak diobati ?
2.    Apakah ada obat tanpa indikasi ?
3.    Apakah pemilihan obat sudah benar ?
4.    Apakah dosis sudah tepat (tidak berlebih atau kurang) ?
5.    Apakah ada interaksi obat ?
6.    Apakah ada efek samping atau potensi efek samping ?
7.    Apakah obat tersedia di Rumah sakit ?
8.    Apakah ada penyulit lain yang dapat menyebabkan pasien gagal minum obat ?
Assessment
1.    Masalah mana yang berkategori minor ?
(membuat pasien tidak nyaman tetapi tidak membahayakan pasien)
2.    Masalah mana yang berkategori mayor ?
(membuat pasien tidak nyaman, membahayakan pasien tetapi tidak sampai menyebabkan kematian pada pasien)
3.    Masalah mana yang berkategori kritis ?
(menyebabkan kematian pasien)
Resolusi
1.    Resolusi masalah kritis ?
2.    Resolusi masalah mayor ?
3.    Resolusi masalah minor ?
4.    Apa saja yang menjadi indikator End point terapi ?
5.    Perencanaan Monitoring (apa yang dimonitor, kapan, dan apa saja yang diperlukan)?
Monitoring
1.    Apakah resolusi terlaksanakan ?
2.    Apakah end point tercapai ?
3.    Bagaimana Penilaian atas manfaat Resolusi ?




2 comments: