فَذَكِّرْ إِنْ
نَفَعَتِ الذِّكْرَى * سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى * وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى *
الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى * ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى
“Oleh
sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang
takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran,
dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya (yaitu) orang yang
akan memasuki api yang besar (neraka) kemudian Dia tidak akan mati di dalamnya
dan tidak (pula) hidup” (QS. Al-A’laa : 9-13)
Ayat ini memerintahkan
Rasulullah saw. untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Respon mereka pun
terbagi menjadi dua: yang menerima dan yang menolak. Respon itu pun menentukan
nasib mereka.
Tafsir Ayat
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
(Oleh sebab itu sampaikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfaat).
Menurut az-Zuhaili (Az-Zuhaili, Tafsîr
al-Munîr) kata at-tadzkîr bermakna mengingatkan manusia
pada sesuatu yang sebelumnya telah diketahui, lalu dilupakan. Kata ini
bisa juga tidak mengingatkan dari perkara yang terlupakan, namun berguna untuk
melanggengkan ingatan. Masih menurut az-Zuhaili, yang dimaksud ayat ini
adalah menyampaikan peringatan dan nasihat dengan al-Quran.
Imam al-Qurthubi
juga berkata, “Nasihatilah kaummu dengan al-Quran, wahai Muhammad. (Al
-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân,)
In nafa’ati adz-dzikrâ (jika peringatan itu bermanfaat). Secara lahiriah, ayat
ini memberikan pemahaman bahwa seolah-olah peringatan itu hanya diperintahkan
apabila dapat memberikan manfaat. Jika tidak, maka peringatan itu tidak perlu
diberikan. Pemahaman tersebut tentu tidak benar. Dikatakan al-Jurjani,
memberikan peringatan itu wajib sekalipun tidak memberikan manfaat (Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr). Kesimpulan
tersebut amat tepat mengingat Rasulullah saw. adalah rasul untuk manusia
(lihat QS Saba’ [34]: 28, al-A’raf [7]: 158).
Menurut Ibn Katsir, dari ayat ini dapat diambil
adab dalam menyebarkan ilmu; bahwa ilmu tidak diberikan kepada orang yang tidak
memiliki kelayakan. Ini sebagaimana dikatakan Amirul Mukminin Ali ra.:
ما أنت بمحدِّث قوما حديثا لا تبلغه عقولهم إلا كان فتنة لبعضهم
“Tidaklah kamu
berbicara dengan suatu kaum tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal
mereka, kecuali menjadi fitnah bagi sebagian mereka.”
Beliau juga berkata:
حدث الناس بما يعرفون، أتحبون أن يكذب الله ورسوله؟!
“Berbicaralah dengan apa yang mereka ketahui.
Apakah kamu menyukai Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
سَيَذَّكَّرُ
مَنْ يَخْشَى
(Orang yang takut [kepada Allah] akan mendapat
pelajaran).
Menurut al-Asfahani
( Al-Mufradât Gharîb al-Qur‘ân), kata al-khasy-yâh berarti khawf (takut)
yang disertai dengan ta’zhîm (sikap hormat dan memuliakan). Sikap
tersebut kebanyakan didasarkan oleh pengetahuan tentang zat yang ditakuti tersebut.
Oleh karena itu, sikap itu dikhususkan kepada ulama dalam firman-Nya:
إِنَّمَا
يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (QS Fathir
[35]: 28)
Menurut Ibnu Katsir, man
yakhsyâ dalam ayat ini berarti orang-orang yang takut kepada
Allah dan meyakini perjumpaan dengan-Nya.
Al-Qurthubi juga
menafsirkan kalimat ini sebagai orang yang bertakwa dan takut kepada
Allah.
Dikatakan oleh
az-Zamakhsyari ( dalam Al-Kasysyâf), orang yang takut kepada Allah dan
buruknya akibat itu lalu mempertimbangkan dan memikirkannya. Pertimbangannya
itu kemudian membimbing dia untuk mengikuti kebenaran.
وَيَتَجَنَّبُهَا
الْأَشْقَى
(Orang-orang yang celaka (kafir) akan
menjauhinya).
Dikatakan al-Alusi, Al-Asyqa
adalah orang kafir yang terus dan tetap dalam pengingkarannya terhadap Hari
Kiamat dan semacamnya. (dalam Rûh al-Ma’ânî)
الَّذِي
يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى
([yaitu]
orang yang akan memasuki api yang besar [neraka]).
Pengertian al-kubrâ di
sini adalah al-‘azhîmah wa al-fazhî’ah (yang besar dan mengerikan).
Dikatakan demikian karena panasnya lebih besar dan dahsyat daripada api dunia.
Menurut al-Hasan, an-nâr
al-kubrâ adalah neraka akhirat. Adapun yang sughrâ (yang
kecil) adalah neraka dunia. Sebagian mufassir mengatakan, semua neraka adalah
neraka akhirat meskipun bertingkat-tingkat kerasnya. Ada neraka yang lebih
besar daripada neraka lainnya. Dikatakan al-Farra’, al-kubrâ adalah
tingkatan neraka yang paling bawah.
ثُمَّ
لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى
(kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan
tidak [pula] hidup).
Di dalam neraka itu
mereka tidak mati dan tidak hidup. Mereka tidak mati sehingga dapat
beristirahat dari azab; juga tidak hidup dengan kehidupan yang memberi dirinya
manfaat (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân)
No comments:
Post a Comment