Pages

Tuesday, July 3, 2018

Hari #6 Ramadhan 1439 AMBISI LEVEL 6


Abdurahman bin Auf telah bersiap berbaris, gemuruh pasukan kuda kafir Quraisy telah terdengar, kepulan debu padang pasir berterbangan, panas terik matahari memanaskan semangat barisan Rasulullah.

Pasukan telah bersiap. Ada yang aneh saat Abdurahman bin Auf memalingkan wajah nya, ada seorang dua remaja yang ikut dalam barisan. Ia mengenal dua remaja tersebut. Mereka adalah Mu'adz bin Amr bin Jamuh (14 tahun) dan Muawwidz bin Afra' (13 tahun). Keduanya adalah sahabat golongan anshar.

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :

“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”


Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :

“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”

Muadz bin Amr bin Jamuh berkata :

“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”

Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”

Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”

Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,

“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”

Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya :

“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”

Perang Badar merupakan penentu. Dalam kondisi pasukan dan logistik yang tidak berimbang memerlukan strategi jitu dan kemampuan personal yang luar biasa. Tak disangka, pembesar Quraisy akhir nya lumpuh oleh sabetan pedang anak remaja berusia 14 dan 13 tahun.

Apa yang mendorong mereka berdua ? Motivasi apa yang muncul sehingga berani mendekati pengawalan ketat sang Fir'aun ? Jawab nya adalah keimanan dan kecintaan pada Rasulullah. Bukan untuk nama besar diri mereka, bukan untuk harta rampasan yang dijanjikan. Terlebih malah mereka berdua berkorban, Mu'adz harus mengorbankan lengan nya, dan Muawwidz harus mengorbankan nyawa nya. Inilah AMBISI LEVEL 6.

Apa itu Ambisi Level 6, sebenarnya tidak ada referensi terkait ambisi level 6 itu. Yang ada hanya Ambisi Level 5, dalam buku Great By Choice, Jim Collins menjelaskan Ambisi Level 5 adalah. "They're passionately driven for a cause beyond themself". Tapi Collins membahas ambisi ini terkait ambisi pemimpin dalam membangun perusahaan yang berada dalam lingkungan yang tidak pasti dan penuh tantangan. Saya melihat Rasulullah dan para sahabat dahulu sudah mencapai lebih dari ambisi level 5 yaitu AMBISI LEVEL 6.

Ambisi ini didorong bukan oleh kepentingan materi dan nama besar pribadi atau perusahan, tapi hal yang lebih tinggi dari itu. Kemenangan yang dicapai adalah untuk dipersembahkan kepada Allah yang Maha Agung. Agar Allah memberikan mereka balasan yang luar biasa, yaitu rahmat dan syurga Nya. Seseorang yang memiliki ambisi ini akan mendapat hasil yang luar biasa. Kita bisa lihat berbagai kemenangan umat Islam begitu gemilang, Islam bisa tersebar keseluruh dunia, melintasi hambatan samudra, budaya, bahasa. Para ilmuan muslim berkontribusi besar untuk ilmu pengetahuan, hingga para ulama menulis ratusan ribu kitab yang bermanfaat untuk generasi kita ini.



No comments:

Post a Comment