Abdurahman bin Auf telah bersiap berbaris, gemuruh pasukan kuda
kafir Quraisy telah terdengar, kepulan debu padang pasir berterbangan, panas
terik matahari memanaskan semangat barisan Rasulullah.
Pasukan telah bersiap. Ada yang aneh saat Abdurahman bin Auf
memalingkan wajah nya, ada seorang dua remaja yang ikut dalam barisan. Ia
mengenal dua remaja tersebut. Mereka adalah Mu'adz bin Amr bin Jamuh (14 tahun)
dan Muawwidz bin Afra' (13 tahun). Keduanya adalah sahabat golongan anshar.
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :
“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para
Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua
orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat
dalam posisi itu.”
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya
dengan penuh takjub :
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada
saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal
ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari kalangan
Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan
mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di Kota
Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf
Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai
anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Muadz bin Amr bin Jamuh berkata :
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya!
Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya
hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang
pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya
dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya,
“Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan
orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang
yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin
Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat
menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di
dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya
mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum
muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal
berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika
saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya
memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung
menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis)
terputus.”
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada
perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih
musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya
bergantung pada kulitnya saja.”
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh.
Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika
ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya
hingga tangan saya terputus.”
Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra.
tentang teman pesaingnya :
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan
Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang.
Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas
terakhirnya.”
Perang Badar merupakan penentu. Dalam kondisi pasukan dan
logistik yang tidak berimbang memerlukan strategi jitu dan kemampuan personal
yang luar biasa. Tak disangka, pembesar Quraisy akhir nya lumpuh oleh sabetan
pedang anak remaja berusia 14 dan 13 tahun.
Apa yang mendorong mereka berdua ? Motivasi apa yang muncul
sehingga berani mendekati pengawalan ketat sang Fir'aun ? Jawab nya adalah
keimanan dan kecintaan pada Rasulullah. Bukan untuk nama besar diri mereka,
bukan untuk harta rampasan yang dijanjikan. Terlebih malah mereka berdua
berkorban, Mu'adz harus mengorbankan lengan nya, dan Muawwidz harus
mengorbankan nyawa nya. Inilah AMBISI LEVEL 6.
Apa itu Ambisi Level 6, sebenarnya tidak ada referensi terkait
ambisi level 6 itu. Yang ada hanya Ambisi Level 5, dalam buku Great By Choice,
Jim Collins menjelaskan Ambisi Level 5 adalah. "They're passionately
driven for a cause beyond themself". Tapi Collins membahas ambisi ini
terkait ambisi pemimpin dalam membangun perusahaan yang berada dalam lingkungan
yang tidak pasti dan penuh tantangan. Saya melihat Rasulullah dan para sahabat
dahulu sudah mencapai lebih dari ambisi level 5 yaitu AMBISI LEVEL 6.
Ambisi ini didorong bukan
oleh kepentingan materi dan nama besar pribadi atau perusahan, tapi hal yang
lebih tinggi dari itu. Kemenangan yang dicapai adalah untuk dipersembahkan
kepada Allah yang Maha Agung. Agar Allah memberikan mereka balasan yang luar
biasa, yaitu rahmat dan syurga Nya. Seseorang yang memiliki ambisi ini akan
mendapat hasil yang luar biasa. Kita bisa lihat berbagai kemenangan umat Islam
begitu gemilang, Islam bisa tersebar keseluruh dunia, melintasi hambatan
samudra, budaya, bahasa. Para ilmuan muslim berkontribusi besar untuk ilmu
pengetahuan, hingga para ulama menulis ratusan ribu kitab yang bermanfaat untuk
generasi kita ini.
No comments:
Post a Comment