Oleh : Ilman Silanas, Apt.,M.Kes
(Apoteker RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung)
Secara umum penyakit yang diderita
manusia hanya digolongkan menjadi dua, yaitu penyakit infeksi dan penyakit
non-infeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang masuk
kedalam tubuh kita dan menyebabkan kondisi patologis disebabkan proses
metabolisme yang mereka lakukan. Mikroorganisme yang dimaksud bisa berupa
bakteri, protozoa, jamur, dan virus.
Bakteri merupakan mikroorganisme
uniseluler tanpa inti sel. Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
banyak jalur, yang pasti saat bakteri masuk dalam jaringan tubuh, dan menemukan
tempat ideal untuk melakukan metabolisme, maka bagian tubuh itulah yang akan
menjadi site of infection. Bakteri merupakan mikroorganisme dengan
kemampuan adaptasi yang tinggi. Susunan DNA yang mereka miliki memungkinkan
untuk mereka merubah kode genetik untuk menghasilkan senyawa kimia baru untuk
melindungi diri mereka sendiri dari ancaman. Terlebih tidak adanya selubung
inti sel yang dapat memudahkan rantai gen mereka disalin dan dibagikan pada
bakteri yang lain.
Selama berabad-abad manusia sudah
menghadapi penyakit akibat bakteri. Pengembangan pengobatan telah dilakukan.
Pada tahun 1928, Alexander Fleming menemukan antibiotik pertama yang disebut
Penisilin. Dua tahun kemudian, 1930, Penisilin mulai diresepkan untuk mengobati
penyakit-penyakit infeksi. Sejak saat itu jutaan orang terselamatkan dari
kematian akibat infeksi. Hal ini menyebabkan pada rentang tahun 1944-1972 usia
harapan hidup meningkat 8 tahun.
Kasus resistensi mulai terjadi pada tahun
1950, saat itu ditemukan bakteri yang tahan ada Pensilin. Para ahli terus
mencoba mencari jalan untuk mengatasi problem resistensi, hingga akhirnya berbagai
macam varian antibiotik dapat kita temukan saat ini.
Pada tahun 1946 dilaporkan hasil
penelitian yang pertama tentang pengaruh positif antibiotik terhadap
pertumbuhan unggas[1],
pada awalnya dipercaya bahwa penggunaan antibiotik berhubungan dengan kerja
vitamin B12. Beberapa antibiotik yang sering digunakan sebagai perangsang
pertumbuhan pada ternak adalah klortetrasiklin, ertiromisin, linkomisin,
Novobiosin, Oksitetrasiklin, dan penisilin. Antibiotik tersebut telah terbukti
dapat meningkatkan bobot badan, memperbaiki konversi pakan, menurunkan
mortalitas, dan menurunkan koloni patogen dalam usus sehingga nutrisi lebih
tersedia untuk ayam.[2]
Penelitian Bates at al (1993)[3]
menunjukan bahwa ternak-ternak yang terdapat di peternakan Inggris banyak
terinfeksi oleh Enterococci yang resisten terhadap Vankomisin. Bebarapa isolat yang
diambil dari peternakan tersebut menunjukan sekitar 62 isolat Enterecocci yang
resisten berasal dari pekerja, 22 isolat dari ternak, dan 5 isolat yang berasal
dari daging mentah. Selanjutnya Roy et al, (2002) melaporkan bahwa sekitar 91-
92 sampel Salmonella yang diisolat dari produk unggas, unggas hidup dan
lingkungan perunggasan telah resisten terhadap antibiotik erythromycin,
lincomycin, dan penicillin. [4]
Akumulasi penggunaan antibiotik tidak
rasional pada manusia dan ternak menyebabkan resistensi pada skala global yang
cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2013 WHO mempublikasikan data bahwa terdapat
480.000 kasus baru MDR-TB (Multi Drugs
Resistant- Tuberculosis). Kasus XDR-TB (Extensively Drugs Resistant
–Tuberculosis) telah teridentifikasi di 100 negara. Proporsi tertinggi
resistensi antibiotik pada kasus yang sering terjadi seperti infeksi saluran
kemih, pneumonia, dan blood stream infection pada seluruh wilayah di
dunia. [5]
Mortalitas akibat resistensi antibiotika pada tahun 2013 menembus angka 700.000
kematian per tahun. Bila hal ini tidak diatas maka pada tahun 2050 diprediksi
terjadi 10.000.000 kematian per tahun.
Berikut adalah info grafis yang menunjukkan
gambaran MDR TB di berbagai negara
Berikut adalah kerugian materil akibat resistensi antibiotik
STRATEGI PENCEGAHAN RESISTENSI
Secara umum strategi dibagi menjadi dua
yaitu pencegahan terjadinya Selective Pressure dan Pencegahan transmisi
bakteri. WHO telah merinci tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
ini antara lain[6]
:
Masyarakat umum dapat berperan dalam
mengatasi resistensi dengan cara :
- Mencuci tangan dan mencegah kontak langsung dengan orang sakit untuk mencegah transmisi infeksi bakteri
- Vaksinasi dan menjaga agar tetap vaksinasi tetap up date
- Menggunakan antibiotik berdasarkan resep dokter
- Menyelesaikan terapi secara tuntas, walau pun kondisi sudah dirasa membaik
- Tidak berbagi antibotik dengan orang lain atau menggunakan dengan resep yang sudah lalu.
Tenaga kesehatan dan Apoteker dapat mengatasi
resistensi dengan :
- Meningkatkan upaya pencegahan dan pengontrolan infeksi pada rumah sakit dan klinik
- Hanya meresepkan dan menyerahkan antibiotik bila benar-benar diperlukan
- Meresepkan dan menyerahkan antibiotik dengan tepat untuk mengatasi penyakit
Pembuat kebijakan dapat berperan dengan
cara :
- Meningkatkan monitoring pada wilayah yang dapat menyebabkan resistensi
- Penguatan program pencegahan dan pengontrolan infeksi
- Membuat aturan dan promosi untuk pengobatan secara tepat
- Menyediakan informasi yang dapat diakses yang berisi akibat dari resistensi antibiotik dan bagaimana masyarakat dan tenaga kesehatan profesional menjalankan peran nya
- Memberi penghargaan pada setiap inovasi dan pengembangan tata laksana dan peralatan
Kolaborasi Pembuat Kebijakan, Peneliti
dan Industri dalam mengatasi resistensi dengan cara melakukan pembinaan dalam upaya inovasi,
penelitian dan pengembangan vaksin, diagnosa, terapi infeksi dan peralatan
lainnya.
[1]
Moore, P. R., A. Evenson, T. D. Luckey, E. McCoy, E. A.
Elvehjem, and E. B. Hart. 1946. Use of sulphasuccidine, streptothricin and
streptomycin in nutrition studies with the chick. J.Biol. Chem. 165:437–441.
[2]
Sun Y, Scrugg DW, Peng Y, Johnson JR, Shukla AJ, 2004. Issues and challenges in
developing long-acting veterinary antibiotic formulation. Adv Drug Deliv Rev.
2004 Jun 2004;56(10):1481-96
[3]
Bates, J., J. Z. Jordens, and J. B. Selkon. 1993. Evidence for
ananimal origin of vancomycin resistant enterococci. Lancet 342:490–491.
[4] Roy P, Dhillon AS, Lauerman LH, Schaberg
DM, Bandli D, Johnson S. Results of Salmonella isolation from poultry products,
poultry, poultry environment, and other characteristics. Avian Diseases 2002;
46 (1):17-24.
[5] http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/
[6]
ibid
No comments:
Post a Comment